PILAR BHINNEKA TUNGGAL IKA
SEBAGAI PEREKAT KEHIDUPAN
BERBANGSA DAN BERNEGARA
Dalam berbagai wacana yang disampaikan baik dalam
forum resmi maupun non resmi, seperti yang telah disampaikan di depan,
terungkap bahwa terdapat empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara bagi
bangsa Indonesia. Empat pilar tersebut adalah Pancasila, UUD 1945, Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika. Bahkan empat pilar
tersebut ada yang berpendapat sebagai harga mati. Pada tanggal 1 Juni 2006, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pidato politiknya, menegaskan kembali konsensus
dasar yang telah menjadi kesepakatan bangsa tersebut, yakni: Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Konsensus dasar
tersebut merupa-kan konsensus final, yang perlu dipegang teguh dan bagaimana
memanfaatkan konsensus dasar tersebut dalam menghadapi berbagai ancaman baik
internal maupun eksternal. Hal ini diungkap kembali oleh Bapak Presiden pada
kesempatan berbuka bersama dengan para eksponen ’45 pada tanggal 15 Agustus
2010 di istana Negara.
Namun di sisi lain sebagian
masyarakat memperta-nyakan atau mempersoalkan makna Bhinneka Tunggal Ika
dalam kaitannya dengan implementasi Undang-undang No.32 tahun 2004,
tentang Pemerintah Daerah. Mengacu pada pasal 10 UU tersebut, dinyatakan bahwa
“pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya.” Berbasis pada
pasal tersebut, beberapa pemerintah daerah tanpa memperha-tikan
rambu-rambu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melaju tanpa kendali, bertendensi
melangkah sesuai dengan keinginan dan kemauan daerah, yang berakibat terjadinya
tindakan yang dapat saja mengancam keutuhan dan kesatuan bangsa yang menyimpang
dari makna sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Namun apabila kita cermati dengan
saksama, pasal 27 dan 45 UU tersebut menyebutkan bahwa dalam melaksanakan
tugasnya, kepala daerah dan anggota DPRD wajib “memegang teguh dan
mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 Negara Kesatuan
Republik Indonesia serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.” Hal ini akan terlaksana dengan sepatutnya apabila
prinsip Bhinneka Tunggal Ika dapat dipegang teguh sebagai acuan dalam
melaksanakan UU Pemerintah Daerah dimaksud. Oleh karena itu berbagai pihak
wajib memahami makna yang benar terhadap Bhinneka Tunggal Ika, dan bagaimana
meman-faatkan sebagai acuan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan
kenegaraan pada umumnya.
Sejak awal telah begitu banyak pihak
yang berusaha membahas untuk memahami dan memberi makna Pancasila, serta
bagaimana implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara
itu pilar Bhinneka Tunggal Ika masih kurang menarik bagi pihak-pihak untuk
membahas dan memikirkan bagaimana implementasinya, padahal Bhinneka Tunggal Ika
memegang peran yang sangat penting bagi negara-bangsa yang sangat pluralistik
ini. Dengan bertitik tolak dari pemikiran ini, dicoba untuk membahas makna
Bhinneka Tunggal Ika dan bagaimana implementasinya dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, sehingga Bhinneka Tunggal Ika benar-benar dapat menjadi tiang
penyangga yang kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa
Indonesia.
Penemuan dan
Landasan Hukum Bhinneka Tunggal Ika
Sesanti atau semboyan Bhinneka
Tunggal Ika diungkapkan pertama kali oleh mPu Tantular, pujangga agung kerajaan
Majapahit yang hidup pada masa pemerintahan Raja Hayamwuruk, di abad ke
empatbelas (1350-1389). Sesanti tersebut terdapat dalam karyanya; kakawin
Sutasoma yang berbunyi “Bhinna ika tunggal ika, tan hana dharma mangrwa,
“ yang artinya “Berbeda-beda itu, satu itu, tak ada pengabdian yang mendua.”
Semboyan yang kemudian dijadikan prinsip dalam kehidupan dalam pemerintahan
kerajaan Majapahit itu untuk mengantisipasi adanya keaneka-ragaman agama yang
dipeluk oleh rakyat Majapahit pada waktu itu. Meskipun mereka berbeda agama
tetapi mereka tetap satu dalam pengabdian. Pada tahun 1951, sekitar 600 tahun
setelah pertama kali semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang diungkap oleh mPu
Tantular, ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai semboyan resmi Negara
Republik Indonesia dengan Peraturan Pemerintah No.66 tahun 1951. Peraturan
Pemerintah tersebut menentukan bahwa sejak 17 Agustus 1950, Bhinneka Tunggal
Ika ditetapkan sebagai seboyan yang terdapat dalam Lambang Negara Republik
Indonesia, “Garuda Pancasila.” Kata “bhinna ika,” kemudian dirangkai
menjadi satu kata “bhinneka”. Pada perubahan UUD 1945 yang kedua,
Bhinneka Tunggal Ika dikukuhkan sebagai semboyan resmi yang terdapat dalam
Lambang Negara, dan tercantum dalam pasal 36a UUD 1945.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang
mengacu pada bahasa Sanskrit, hampir sama dengan semboyan e Pluribus
Unum, semboyan Bangsa Amerika Serikat yang maknanya diversity in unity,
perbedaan dalam kesatuan. Semboyan tersebut terungkap di abad ke XVIII, sekitar
empat abad setelah mpu Tantular mengemukakan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Sangat mungkin tidak ada hubungannya, namun yang jelas konsep keanekaragaman
dalam kesatuan telah diungkap oleh mPu Tantular lebih dahulu.
Jawa Kuna
|
Alih bahasa Indonesia
|
Rwāneka
dhātu winuwus Buddha Wiswa,
|
Konon
Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
|
Bhinnêki
rakwa ring apan kena parwanosen,
|
Mereka
memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
|
Mangka ng
Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
|
Sebab
kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
|
Bhinnêka
tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
|
Terpecah
belahlah itu, tetapi satu jualah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
|
Sasanti yang merupakan karya mPu
Tantular, yang diharapkan dijadikan acuan bagi rakyat Majapahit dalam
berdharma, oleh bangsa Indonesia setelah menyatakan kemerdekaannya, dijadikan
semboyan dan pegangan bangsa dalam membawa diri dalam hidup berbangsa dan
bernegara. Seperti halnya Pancasila, istilah Bhinneka Tunggal Ika juga tidak
tertera dalam UUD 1945 (asli), namun esensinya terdapat didalamnya , seperti
yang dinyatakan :” Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai penjelmaan seluruh
rakyat Indonesia, terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.”
Selanjutnya dalam Penjelasan UUD
1945 dinyatakan :”Di daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan
daerah, oleh karena di daerahpun pemerintahan akan bersendi atas dasar
permusyawaratan. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende
landschappen dan voksgemeenschappen. Daerah daerah itu mempunyai
susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat
istimewa.” Maknanya bahwa dalam menyelenggarakan kehidupan kenegaraan
perlu ditampung keanekaragaman atau kemajemukan bangsa dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat, dan
Undang-Undang Dasar Sementera tahun 1950, pasal 3 ayat (3) menentukan perlunya
ditetapkan lambang negara oleh Pemerintah. Sebagai tindak lanjut dari pasal
tersebut terbit Peraturan Pemerintah No.66 tahun 1951 tentang Lambang Negara.
Baru setelah diadakan perubahan UUD
1945, dalam pasal 36A menyebutkan:”Lambang Negara ialah Garuda Pancasila
dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.” Dengan demikian Bhinneka Tunggal Ika
merupakan semboyan yang merupakan kesepakatan bangsa, yang ditetapkan dalam
UUDnya. Oleh karena itu untuk dapat dijadikan acuan secara tepat dalam hidup
berbangsa dan bernegara, makna Bhinneka Tunggal Ika perlu difahami secara tepat
dan benar untuk selanjutnya difahami bagaimana cara untuk mengimplementasikan
secara tepat dan benar pula. Bhinneka Tunggal Ika tidak dapat dipisahkan dari
Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia, dan Dasar Negara Pancasila. Hal ini sesuai
dengan komponen yang terdapat dalam Lambang Negara Indonesia. Menurut
pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 1951 disebutkan bahwa : Lambang
Negara terdiri atas tiga bagian, yaitu:
- Burung Garuda yang menengok dengan kepalanya lurus ke sebelah kanannya;
- Perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan
- Semboyan yang ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. Di atas pita tertulis dengan huruf Latin sebuah semboyan dalam bahasa Jawa Kuno yang berbunyi : BHINNEKA TUNGGAL IKA.
Adapun makna
Lambang Negara tersebut adalah sebagaki berikut:
Burung Garuda disamping
menggambarkan tenaga pembangunan yang kokoh dan kuat, juga melambangkan tanggal
kemerdekaan bangsa Indonesia yang digambarkan oleh bulu-bulu yang terdapat pada
Burung Garuda tersebut. Jumlah bulu sayap sebanyak 17 di tiap sayapnya
melambangkan tanggal 17, jumlah bulu pada ekor sebanyak 8 melambangkan
bulan 8, jumlah bulu dibawah perisai sebanyak 19, sedang jumlah bulu pada leher
sebanyak 45. Dengan demikian jumlah bulu-bulu burung garuda tersebut
melambangkan tanggal hari kemerdekaan bangsa Indonesia, yakni 17 Agustus 1945.
Sementara itu perisai yang
tergantung di leher garuda menggambarkan Negara Indonesia yang terletak
di garis khalustiwa, dilambangkan dengan garis hitam horizontal yang
membagi perisai, sedang lima segmen menggambarkan sila-sila Pancasila. Ketuhanan
Yang Maha Esa dilambangkan dengan bintang bersudut lima yang
terletak di tengah perisai yang menggambarkan sinar ilahi. Rantai
yang merupakan rangkaian yang tidak terputus dari bulatan dan persegi
menggambarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yang sekaligus
melambangkan monodualistik manusia Indonesia. Kebangsaan dilambangkan
oleh pohon beringin, sebagai tempat berlindung; Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawa-rakatan/perwakilan
dilambangkan dengan banteng yang menggambarkan kekuatan dan
kedaulatan rakyat. Sedang Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
dengan kapas dan padi yang menggambarkan kesejahteraan dan
kemakmuran. Dari gambaran tersebut, maka untuk dapat memahami lebih dalam makna
Bhinneka Tunggal Ika tidak dapat dipisahkan dari pemahaman makna merdeka, dan
dasar negara Pancasila. Marilah secara singkat kita mencoba untuk memberi makna
kemerdekaan sesuai dengan kesepakatan bangsa.
Dalam Pembukaan UUD 1945, alinea
pertama disebutkan “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa
dan oleh sebab itu, maka pejajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak
sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.” Memang semula kemerdekaan
atau kebebasan diberi makna bebas dari penjajahan negara asing tetapi
ternyata bahwa kemerdekaan atau kebebasan ini memiliki makna yang lebih luas
dan lebih dalam karena menyangkut harkat dan martabat manusia, yakni berkaitan
dengan hak asasi manusia. Manusia memiliki kebebasan dalam olah fikir, bebas
berkehendak dan memilih, bebas dari segala macam ketakutan yang merupakan
aktualisasi dari konsep hak asasi manusia yakni mendudukkan manusia sesuai
dengan harkat dan martabatnya.
Memasuki era globalisasi kemerdekaan
atau kebe-basan memiliki makna lebih luas, karena dengan globalisasi berkembang
neoliberalisme, neokapitalisme, terjadilah penjajahan dalam bentuk baru.
Terjadilah penjajahan dalam bidang ekonomi, dalam bidang politik, dalam bidang
sosial budaya dan dalam aspek kehidupan yang lain. Dengan kemerdekaan kita
maknai bebas dari berbagai eksploatasi manusia oleh manusia dalam segala
dimensi kehidupan dari manapun, baik dari luar maupun dari dalam negeri
sendiri. Sementara itu penerapan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara harus berdasar pada Pancasila yang telah ditetapkan oleh bangsa
Indonesia menjadi dasar negaranya. Dengan demikian maka penerapan Bhinneka
Tunggal Ika harus dijiwai oleh konsep religiositas, humanitas, nasionalitas,
sovereinitas dan sosialitas. Hanya dengan ini maka Bhinneka Tunggal Ika akan
teraktualisasi dengan sepertinya.
Konsep dasar
Bhinneka Tunggal Ika
Berikut disampaikan konsep dasar
yang terdapat dalam Bhinneka Tunggal Ika yang kemudian terjabar dalam
prinsip-prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika yang dijadikan acuan
bagi bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Dalam rangka memahami
konsep dasar dimaksud ada baiknya kita renungkan lambang negara yang tidak terpisahkan
dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Perlu kita mengadakan refleksi terhadap
lambang negara tersebut. Bhinneka Tunggal Ika berisi konsep
pluralistik dan multikulturalistik dalam kehidupan yang terikat dalam suatu
kesatuan. Pluralistik bukan pluralisme, suatu faham yang membiarkan
keanekaragaman seperti apa adanya. Membiarkan setiap entitas yang menunjukkan
ke-berbedaan tanpa peduli adanya common denominator pada keanekaragaman
tersebut. Dengan faham pluralisme tidak perlu adanya konsep yang mensubstitusi
keanekaragaman. Demikian pula halnya dengan faham multikulturalisme. Masyarakat
yang menganut faham pluralisme dan multikulturalisme, ibarat onggokan material
bangunan yang dibiarkan teronggok sendiri-sendiri, sehingga tidak akan
membentuk suatu bangunan yang namanya rumah.
Ada baiknya
dalam rangka lebih memahami makna pluralistik bangsa difahami pengertian
pluralisme, agar dalam penerapan konsep pluralistik tidak terjerumus ke dalam
faham pluralisme.
Pluralisme berasal dari kata plural yang
berarti banyak, adalah suatu faham yang mengakui bahwa terdapat berbagai faham
atau entitas yang tidak tergantung yang satu dari yang lain. Masing-masing
faham atau entitas berdiri sendiri tidak terikat satu sama lain, sehingga tidak
perlu adanya substansi pengganti yang mensubstitusi faham-faham atau berbagai
entitas tersebut. Salah satu contoh misal di Indonesia terdapat ratusan suku
bangsa. Menurut faham pluralisme setiap suku bangsa dibiarkan berdiri sendiri
lepas yang satu dari yang lain, tidak perlu adanya substansi lain, misal yang
namanya bangsa, yang mereduksi eksistensi suku-suku bangsa tersebut.
Faham pluralisme melahirkan faham
individualisme yang mengakui bahwa setiap individu berdiri sendiri lepas dari
individu yang lain. Faham individualisme ini mengakui adanya perbedaan
individual atau yang biasa disebut individual differences. Setiap
individu memiliki cirinya masing-masing yang harus dihormati dan dihargai
seperti apa adanya. Faham individualisme ini yang melahirkan faham liberalisme,
bahwa manusia terlahir di dunia dikaruniai kebebasan. Hanya dengan kebebasan
ini maka harkat dan martabat individu dapat didudukkan dengan semestinya.
Trilogi faham pluralisme, individualisme dan liberalisme inilah
yang melahirkan sistem demokrasi dalam sistem pemerintahan utamanya di Negara
Barat.
Sebagai contoh berikut disampaikan
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat dan Deklarasi Hak Manusia dan Warganegara
Perancis yang melandasi pelaksanaan sistem demokrasi di negara tersebut yang
berdasar pada faham pluralisme, individualisme dan liberalisme.
United States Declaration of Independence
We hold
these truths to be self-evident, that all men are created equal, that
they are endowed by their Creator with certain unalienable Rights, that among
these are Life, Liberty, and pursuit of Happiness. That to secure these rights,
governments are instituted among men, deriving just powers from the
consent of the governed.
Declaration of the Rights of Man and Citizen
– Declaration des droits de l’homme et du citoyen—
Men are born and remain free and equal
in rights. Social distinction can be based only upon public utility. The
aim of every political association is the preservation of the natural and
imprescriptible rights of man. These rights are liberty, property,
security, and resistance to oppression.
Dari deklarasi tersebut nampak
dengan nyata faham pluralisme, individualisme dan liberalisme menjelujuri
sistem demokrasi yang diterapkan di kedua negara tersebut. Dua deklarasi
tersebut dinyatakan hampir bersamaan waktunya, yakni pada akhir abad ke XIX,
yang satu di Amerika Serikat, yang satu di salah satu negara di Eropa.
Meskipun demikian mereka tetap
mengakui bahwa manusia tidak mungkin hidup seorang diri. Untuk dapat menunjang
hidupnya dan untuk melestarikan dirinya, mereka memerlukan pihak lain; beberapa
pihak mengatakan bahwa hal ini terjadi didorong oleh naluri atau instinct
berkelompok. Mereka memerlukan hidup bersama entah bagaimana bentuknya, dengan
mendasarkan diri pada belief system yang dianutnya. Di antara hubungan
manusia dengan pihak lain berbentuk pengabdian, bahwa yang satu semata-mata
harus mengabdi kepada pihak yang lain. Terdapat juga pengakuan bahwa hubungan
antar manusia itu adalah dalam kesetaraan. Sebagai akibat pola hidup manusia
menjadi sangat beragam.
Didorong oleh realitas tersebut,
maka bangsa Amerika dalam menerapkan pluralisme, individualisme dan liberalisme
mencari pola bagaimana dapat membentuk suatu kehidupan bersama. Dalam hidup
bersama diperlukan kesepakatan untuk dijadikan pegangan bersama dalam melangkah
ke depan menghadapi tantangan hidup bersama. Dikembangkan pola yang disebut
“kontrak sosial,” bahwa anggota masyarakat harus merelakan sebagian dari hak
individu demi terwujudnya kehidupan bersama. Semangat bersatu dalam
kehidupan bersama ini nampak dalam semboyan yang terdapat dalam motto lambang
negaranya yang berbunyi “ e pluribus unum,” yang berarti “out
of many, one” dari yang banyak itu satu, atau unity in diversity.
Metoda yang diterapkan dalam membentuk kesatuan, disebut metoda melting pot,
yang kalau dinilai lebih jauh sudah menyimpang dari prinsip pluralisme.
Pluralitas adalah
sifat atau kualitas yang menggam-barkan keanekaragaman; suatu pengakuan bahwa
alam semesta tercipta dalam keaneka ragaman. Sebagai contoh bangsa Indonesia
mengakui bahwa Negara-bangsa Indonesia bersifat pluralistik, beraneka ragam
ditinjau dari suku-bangsanya, adat budayanya, bahasa ibunya, agama yang
dipeluknya, dan sebagainya. Hal ini merupakan suatu kenyataan atau keniscayaan
dalam kehidupan bangsa Indonesia. Keaneka ragaman ini harus didudukkan secara
proporsional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, harus dinilai sebagai asset
bangsa, bukan sebagai faktor penghalang kemajuan. Perlu kita cermati bahwa
pluralitas ini merupakan sunnatullah.
Seperti dikemukan di atas, pola
sikap bangsa Indone-sia dalam menghadapi keaneka-ragaman ini berdasar pada
suatu sasanti atau adagium “Bhinneka Tunggal Ika,” yang bermakna
beraneka tetapi satu, yang hampir sama dengan motto yang dipegang oleh
bangsa Amerika, yakni “e pluribus unum.” Dalam menerapkan pluralitas
dalam kehidupan, bangsa Indonesia mengacu pada prinsip yang terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945, bahwa yang diutamakan adalah kepentingan bangsa bukan
kepentingan individu, berikut frase-frase yang terdapat dalam Pembukaan UUD
1945:
- Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa;
- Bahwa kemerdekaan yang dinyatakan oleh bangsa Indonesia, supaya rakyat dapat berkehidupan kebangsaan yang bebas;
- Bahwa salah satu misi Negara-bangsa Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa;
- Bahwa salah satu dasar Negara Indonesia adalah Persatuan Indonesia, yang tiada lain merupakan wawasan kebangsaan.
- Bahwa yang ingin diwujudkan dengan berdirinya Negara-bangsa Indonesia adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dari frase-frase yang terdapat dalam
Pembukaan UUD 1945 tersebut jelas bahwa prinsip kebangsaan mewarnai kehidupan
berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia. Istilah individu atau konsep
individualisme tidak terdapat dalam Pembukaan UUD 1945. Dengan kata lain bahwa
sifat pluralistik yang diterapkan di Indonesia tidak berdasar pada
individualisme dan liberalisme.
Pluralitas
atau pluralistik tidak merupakan suatu faham, isme atau keyakinan yang bersifat
mutlak. Untuk itu tidak perlu dikembangkan ritual-ritual tertentu seperti
halnya agama. Prinsip pluralistik dan multikulturalistik adalah asas yang
mengakui adanya kemajemukan bangsa dilihat dari segi agama, keyakinan, suku
bangsa, adat budaya, keadaan daerah, dan ras. Kemajemukan tersebut dihormati
dan dihargai serta didudukkan dalam suatu prinsip yang dapat mengikat
keanekaragaman tersebut dalam kesatuan yang kokoh. Kemajemukan bukan
dikembangkan dan didorong menjadi faktor pemecah bangsa, tetapi merupakan
kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing komponen bangsa, untuk
selanjutnya diikat secara sinerjik menjadi kekuatan yang luar biasa untuk
dimanfaatkan dalam menghadapi segala tantangan dan persoalan bangsa.
Prinsip-prinsip
yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika
Untuk dapat
mengimplementasikan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara dipandang perlu untuk memahami secara mendalam prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai
berikut :
- Dalam rangka membentuk kesatuan dari keaneka ragaman tidak terjadi pembentukan konsep baru dari keanekaragaman konsep-konsep yang terdapat pada unsur-unsur atau komponen bangsa. Suatu contoh di negara tercinta ini terdapat begitu aneka ragam agama dan kepercayaan. Dengan ke-tunggalan Bhinneka Tunggal Ika tidak dimaksudkan untuk membentuk agama baru. Setiap agama diakui seperti apa adanya, namun dalam kehidupan beragama di Indonesia dicari common denominator, yakni prinsip-prinsip yang ditemui dari setiap agama yag memiliki kesamaan, dan common denominator ini yang kita pegang sebagai ke-tunggalan, untuk kemudian dipergunakan sebagai acuan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Demikian pula halnya dengan adat budaya daerah, tetap diakui eksistensinya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwawasan kebangsaan. Faham Bhinneka Tunggal Ika, yang oleh Ir Sujamto disebut sebagai faham Tantularisme, bukan faham sinkretisme, yang mencoba untuk mengembangkan konsep baru dari unsur asli dengan unsur yang datang dari luar.
- Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat sektarian dan eksklusif; hal ini bermakna bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dibenarkan merasa dirinya yang paling benar, paling hebat, dan tidak mengakui harkat dan martabat pihak lain. Pandangan sektarian dan eksklusif ini akan memicu terbentuknya keakuan yang berlebihan dengan tidak atau kurang memperhitungkan pihak lain, memupuk kecurigaan, kecemburuan, dan persaingan yang tidak sehat. Bhinneka Tunggal Ika bersifat inklusif. Golongan mayoritas dalam hidup berbangsa dan bernegara tidak memaksakan kehendaknya pada golongan minoritas.
- Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat formalistis yang hanya menunjukkan perilaku semu. Bhinneka Tunggal Ika dilandasi oleh sikap saling percaya mempercayai, saling hormat menghormati, saling cinta mencintai dan rukun. Hanya dengan cara demikian maka keanekaragaman ini dapat dipersatukan.
- Bhinneka Tunggal Ika bersifat konvergen tidak divergen, yang bermakna perbedaan yang terjadi dalam keanekaragaman tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu, dalam bentuk kesepakatan bersama. Hal ini akan terwujud apabila dilandasi oleh sikap toleran, non sektarian, inklusif, akomodatif, dan rukun.
Prinsip atau asas pluralistik dan
multikultural Bhinneka Tunggal Ika mendukung nilai: (1) inklusif,
tidak bersifat eksklusif, (2) terbuka, (3) ko-eksistensi damai dan
kebersamaan, (4) kesetaraan, (5) tidak merasa yang paling benar,
(6) tolerans, (7) musyawarah disertai dengan penghargaan terhadap
pihak lain yang berbeda. Suatu masyarakat yang tertutup atau eksklusif sehingga
tidak memungkinkan terjadinya perkembangan tidak mungkin menghadapi arus
globalisasi yang demikian deras dan kuatnya, serta dalam menghadapi
keanekaragaman budaya bangsa. Sifat terbuka yang terarah merupakan syarat bagi
berkembangnya masyarakat modern. Sehingga keterbukaan dan berdiri sama tinggi
serta duduk sama rendah, memungkinkan terbentuknya masyarakat yang pluralistik
secara ko-eksistensi, saling hormat menghormati, tidak merasa dirinya yang
paling benar dan tidak memaksakan kehendak yang menjadi keyakinannya kepada
pihak lain. Segala peraturan perundang-undangan khususnya peraturan daerah
harus mampu mengakomodasi masyarakat yang pluralistik dan multikutural, dengan
tetap berpegang teguh pada dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Suatu peraturan
perundang-undangan, utamanya peraturan daerah yang memberi peluang terjadinya
perpecahan bangsa, atau yang semata-mata untuk mengakomodasi kepentingan unsur
bangsa harus dihindari. Suatu contoh persyaratan untuk jabatan daerah harus
dari putra daerah , menggambarkan sempitnya kesadaran nasional yang semata-mata
untuk memenuhi aspirasi kedaerahan, yang akan mengundang terjadinya perpecahan.
Hal ini tidak mencerminkan penerapan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Dengan
menerapkan nilai-nilai tersebut secara konsisten akan terwujud masyarakat yang
damai, aman, tertib, teratur, sehingga kesejahteraan dan keadilan akan terwujud.
Implementasi
Bhineka Tunggal Ika
Setelah kita
fahami beberapa prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika, maka
langkah selanjutnya adalah bagaimana prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal Ika ini
diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
- 1. Perilaku inklusif.
Di depan
telah dikemukakan bahwa salah satu prinsip yang terkandung dalam Bhinneka
Tunggal Ika adalah sikap inklusif. Dalam kehidupan bersama yang menerapkan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika memandang bahwa dirinya, baik itu sebagai
individu atau kelompok masyarakat merasa dirinya hanya merupakan sebagian dari
kesatuan dari masyarakat yang lebih luas. Betapa besar dan penting kelompoknya
dalam kehidupan bersama, tidak memandang rendah dan menyepelekan kelompok yang
lain. Masing-masing memiliki peran yang tidak dapat diabaikan, dan bermakna
bagi kehidupan bersama.
1. 2.
Mengakomodasi sifat pluralistik
Bangsa Indonesia sangat pluralistik
ditinjau dari keragaman agama yang dipeluk oleh masyarakat, aneka adat budaya yang
berkembang di daerah, suku bangsa dengan bahasanya masing-masing, dan menempati
ribuan pulau yang tiada jarang terpisah demikian jauh pulau yang satu dari
pulau yang lain. Tanpa memahami makna pluralistik dan bagaimana cara mewujudkan
persatuan dalam keanekaragaman secara tepat, dengan mudah terjadi disintegrasi
bangsa. Sifat toleran, saling hormat menghormati, mendudukkan masing-masing
pihak sesuai dengan peran, harkat dan martabatnya secara tepat, tidak memandang
remeh pada pihak lain, apalagi menghapus eksistensi kelompok dari kehidupan
bersama, merupakan syarat bagi lestarinya negara-bangsa Indonesia. Kerukunan
hidup perlu dikembangkan dengan sepatutnya. Suatu contoh sebelum terjadi
reformasi, di Ambon berlaku suatu pola kehidupan bersama yang disebut pela
gandong, suatu pola kehidupan masyarakat yang tidak melandaskan diri
pada agama, tetapi semata-mata pada kehidupan bersama pada wilayah tertentu.
Pemeluk berbagai agama berlangsung sangat rukun, bantu membantu dalam kegiatan
yang tidak bersifat ritual keagamaan. Mereka tidak membedakan suku-suku yang
berdiam di wilayah tersebut, dan sebagainya. Sayangnya dengan terjadinya
reformasi yang mengusung kebebasan, pola kehidupan masyarakat yang demikian
ideal ini telah tergerus arus reformasi.
- 3. Tidak mencari menangnya sendiri
Menghormati pendapat pihak lain,
dengan tidak beranggapan bahwa pendapatnya sendiri yang paling benar, dirinya
atau kelompoknya yang paling hebat perlu diatur dalam menerapkan Bhinneka
Tunggal Ika. Dapat menerima dan memberi pendapat merupakan hal yang harus
berkembang dalam kehidupan yang beragam. Perbedaan ini tidak untuk
dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu. Bukan dikembangkan divergensi,
tetapi yang harus diusahakan adalah terwujudnya konvergensi dari berbagai
keanekaragaman. Untuk itu perlu dikembangkan musyawarah untuk mencapai mufakat.
- 4. Musyawarah untuk mencapai mufakat
Dalam rangka
membentuk kesatuan dalam keanekaragaman diterapkan pendekatan “musyawa-rah
untuk mencapai mufakat.” Bukan pendapat sendiri yang harus dijadikan
kesepakatan bersama, tetapi common denominator, yakni inti kesamaan yang
dipilih sebagai kesepakatan bersama. Hal ini hanya akan tercapai dengan proses
musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan cara ini segala gagasan yang timbul
diakomodasi dalam kesepa-katan. Tidak ada yang menang tidak ada yang kalah.
Inilah yang biasa disebut sebagai win win solution.
- 5. Dilandasi rasa kasih sayang dan rela berkorban
Dalam
menerapkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu
dilandasi oleh rasa kasih sayang. Saling curiga mencurigai harus dibuang
jauh-jauh. Saling percaya mempercayai harus dikembangkan, iri hati, dengki
harus dibuang dari kamus Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini akan berlangsung apabila
pelaksanaan Bhnneka Tunggal Ika menerap-kan adagium “leladi sesamining
dumadi, sepi ing pamrih, rame ing gawe, jer basuki mowo beyo.” Eksistensi
kita di dunia adalah untuk memberikan pelayanan kepada pihak lain, dilandasi
oleh tanpa pamrih pribadi dan golongan, disertai dengan pengorbanan. Tanpa
pengorbanan, sekurang-kurangnya mengurangi kepentingan dan pamrih pribadi,
kesatuan tidak mungkin terwujud. Bila setiap warganegara memahami makna
Bhinneka Tunggal Ika, meyakini akan ketepatannya bagi landasan kehidupan
berbangsa dan bernegara, serta mau dan mampu mengimplementasikan secara tepat
dan benar insya Allah, Negara Indonesia akan tetap kokoh dan bersatu selamanya.