KATA PENGANTAR
Segala
puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya.
Sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah sederhana ini yang berjudul “PERDAGANGAN
ORANG DITINJAU DARI PERSPEKTIF KRIMINOLOGI” sebagai tugas mata kuliah KRIMINOLOGI.
Makalah
ini berisi pembahasan tentang perdagangan orang yang ditinjau dari perspektif
kriminilogi. Tujuan pembuatan makalah ini untuk menambah wawasan dan pengetahuan
kepada pembaca tentang masalah kriminologi yang berkaitan dengan perdagangan
orang.
Penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang bersangkutan dalam pembuatan makalah
ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Penulis memerlukan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Oleh karena itu, penulis meminta maaf
atas kekurangan dalam pembuatan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR........................................................................................................ i
DAFTAR
ISI....................................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang................................................................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah........................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Penyebab Timbulnya Tindak Pidana
Perdagangan Orang............................................. 3
B. Bentuk-Bentuk Tindak Perdagangan Orang................................................................... 4
C. Rute Tindak
Pidana Perdagangan Orang di Indonesia................................................... 5
D. Dampak dari Tindak Pidana Perdagangan Orang........................................................... 6
E. Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Pedagangan
Orang................................... 7
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan......................................................................................................................... 10
B. Saran............................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah Negara yang
dianggap sebagai sumber perdagangan wanita, anak, dan pria untuk tujuan kerja
paksa dan eksploitasi seks komersil. Pada lingkup yang lebih kecil, Indonesia
menjadi Negara tujuan dan transit untuk perdagangan manusia dari Negara lain.
Provinsi-provinsi di Indonesia
menjadi sumber maupun tujuan perdagangan manusia terutama adalah Jawa diikuti
kemudian oleh Kalimantan Barat, Lampung, Sumatra Utara, Banten Sulawesi
Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara.
Perdagangan gadis remaja terutama dari wilayah Kalimantan Barat ke Taiwan yang
berpura-pura sebagai pengantin wanita masih terus terjadi. Setiba disana,
mereka dipaksa menjadi pelacur (Palupi, 2009: 7). Sebuah tren baru terjadi satu
tahun terakhir ini yaitu perdagangan puluhan wanita Indonesia ke wilayah
Kurdistan di Irak untuk menjadi pembantu rumah tangga (PRT). Tren lainnya
adalah menculik gadis belia yang dilakukan para pelaku perdagangan manusia
untuk dikirim ke Malaysia dan dipaksa menjadi pelacur. Wanita dari Cina,
Thailand, dan Eropa Timur diperdagangkan ke Indonesia untuk tujuan eksploitasi
seksual meskipun jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan jumlah wanita
Indonesia yang diperdagangkan untuk tujuan serupa.
Perdagangan manusia di dalam negeri
masih menjadi masalah besar di Indonesia, di mana para wanita dan anak
dieksploitasi menjadi PRT, pekerja seks komersial, dan buruh pabrik-pabrik
kecil. Para pelaku perdangan manusia kadang bersekongkol dengan pihak sekolah
untuk mulai merekrut pelajar-pelajar muda di sekolah kejuruan untuk menjadi
tenaga kerja paksa di hotel Malaysia melalui peluang “magang” yang sebenarnya
fiktif. Warga dari Indonesia direkrut dengan tawaran untuk bekerja di restoran,
pabrik, atau sebagai PRT dan kemudian dipaksa menjalani perdagangan seks.
Selain itu, sangat mengenaskan juga dialami oleh anak-anak Indonesia yang
menjadi korban pariwisata seks dengan pelaku mayoritas dari wisatawan Malaysia
dan Singapura. Pariwisata seks yang melibatkan anak-anak banyak ditemui di daerah
- daerah perkotaan dan daerah tujuan wisata.
Tindak pidana perdagangan manusia
yang merupakan kejahatan lintas Negara atau kejahatan transnasional sudah
menjadi keprihatinan global Negara-negara di dunia. Khusus untuk Indonesia agar
dapat menjerat pelaku tindak pidana trafiking, Indonesia sudah mempunyai
Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang. Akan tetapi, disayangkan sekali terkadang aparat penegak hukum
justru menjadi mitra bagi pelaku perdagangan manusia, misalnya kerjasama
dengan PJTKI.
Sosiologi kriminal sangat
membutuhkan data-data akurat dengan mengadakan pencatatan dari kejahatan yang
terjadi dengan meninjau secara keseluruhan gejala ini dalam angka-angka
(Bonger, 1995: 27).
Statistik untuk Perdagangan orang
yang konkrit dan dapat diandalkan di Indonesia masih sangat sulit untuk
didapatkan, karena ke-ilegalan-nya dan karena sifatnya tersembunyi. Meskipun
demikian, informasi berikut ini mungkin dapat memberikan gambaran cakupan dari
masalah ini; pertama buruh migran: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
memperkirakan bahwa pada tahun 2009 terdapat sekitar 500.000 warga negara
Indonesia yang bermigrasi keluar negeri untuk bekerja melalui jalur tidak
resmi. Berbagai LSM di Indonesia (termasuk juga KOPBUMI) memperkirakan bahwa
sekitar 1,4 sampai 2,1 juta buruh migran perempuan Indonesia saat ini sedang
bekerja diluar negeri; kedua Pembantu Rumah Tangga (PRT): Sebuah laporan dari
konferensi ILO-IPEC 2001 memperkirakan bahwa ada sekitar 1,4 juta PRT dari
Indonesia di Malaysia, dan 23 persennya adalah anak-anak; ketiga Pekerja Seks
Komersial: Sebuah laporan Organisasi Perburuhan Dunia (ILO) tahun 2008
memperkirakan bahwa ada sekitar 130.000 – 240.000 pekerja seks dari Indonesia
di Honkong dan sampai 30 persennya adalah anak-anak di bawah 18 tahun (Hamim
dan Agustinanto, 2008: 61).
Berdasar latar belakang tersebut di
atas, maka tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana “Tindak Pidana
Perdagangan Orang Ditinjau dari Perspektif Kriminologi.” Dalam makalah ini, digunakan istilah tindak pidana
perdagangan orang, karena berpedoman dari Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, meskipun ada istilah lain yaitu
trafiking.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa yang menjadi penyebab timbulnya
tindak pidana perdagangan orang?
2.
Apa saja bentuk-bentuk tindak
perdagangan orang?
3.
Bagaimana rute tindak pidana
perdagangan orang di Indonesia?
4.
Apa saja dampak yang ditimbulkan
dari tindak pidana perdagangan orang?
5.
Bagaimana pencegahan dan penanganan
tindak pidana perdagangan orang?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penyebab
Timbulnya Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pembahasan dalam menguraikan
sebab-sebab dari tindak pidana perdagangan orang berpedoman dari pengertian
kriminologi berdasarkan pendekatan sebab akibat, dimana kriminologi menjelaskan
hubungan sebab akibat dan fakta kriminal, serta berusaha mencari jawaban
mengapa kejahatan terjadi. Sedangkan kejahatan ini sendiri diartikan sebagai
perilaku yang anti sosial yang telah dilarang dan dirumuskan dalam hukum
positif sebagai kejahatan.
Sedangkan untuk penyebab tindak
pidana perdagangan orang sangat luas sekali, tidak ada satupun yang merupakan
sebab khusus terjadinya tindak perdagangan orang di Indonesia. Hal tersebut
dapat disebabkan oleh keseluruhan hal yang terdiri dari bermacam-macam kondisi
serta persoalan yang berbeda-beda, termasuk didalamnya adalah; pertama,
kurangnya kesadaran. Banyak orang yang bermigrasi untuk mencari kerja baik di
Indonesia ataupun di luar negeri tidak mengetahui adanya bahaya perdagangan
orang dan tidak mengetahui cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak
mereka dalam pekerjaan yang disewenang-wenangkan atau pekerjaan yang mirip
perbudakan.
Kedua, kemiskinan. Kemiskinan
telah memaksa banyak keluarga untuk merencanakan strategi penopang kehidupan
mereka termasuk bermigrasi untuk bekerja dan bekerja karena jeratan hutang,
yaitu pekerjaan yang dilakukan seseorang guna membayar hutang atau pinjaman.
Ketiga, keinginan cepat kaya. Keinginan untuk memiliki materi dan standar hidup
yang lebih tinggi memicu terjadinya migrasi dan membuat orang-orang yang
bermigrasi rentan terhadap perdagangan orang. Keempat, faktor budaya.
Faktor-faktor budaya berikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya
perdagangan orang: yaitu peran perempuan dalam Keluarga, peran anak dalam
keluarga, perkawinan dini, dan sejarah pekerjaan karena jeratan hutang
(Valentina, 2008: 14).
Sebab-sebab dari perdagangan orang
diatas sesuai dengan teori sosiologi kriminil, tentang kejahatan sebagai suatu
gejala di masyarakat. Sampai dimana letak sebab-sebab kejahatan dalam
masyarakat, dalam arti luas juga termasuk penyelidikan mengenai keadaan
sekeliling fisiknya (Bonger, 1995: 25).
Dalam psikoanalisa tentang
kriminalitas menghubungkan delinquent dan perilaku criminal dengan suatu
“conscience” (hati nurani) yang baik dia begitu menguasai sehingga
menimbulkan perasaan bersalah atau ia begitu lemah sehingga tidak dapat
mengontrol dorongan-dorongan individu, dan bagi suatu kebutuhan yang harus
dipenuhi segera (Santoso dan Zulfa, 2007: 51). Artinya bahwa, terkait dengan
tindak pidana perdagangan orang ini, pelaku banyak mendapatkan kesempatan
melakukan kejahatan karena calon korban lebih didominasi faktor ekonomi dan
lemahnya langkah pencegahan dan pelindungan pemerintah terhadap calon korban.
Dalam hal ini juga sangat bertolak
belakang dengan teori Lombrosso yang menyatakan bahwa asal muasal kejahatan
berasal dari gen kebuasan dan sikap liar yang diturunkan oleh nenek moyang
serta dapat ditandai dengan ciri fisik seseorang (Santoso dan Zulfa, 2007: 25).
Padahal, banyak sekali kejahatan yang pelakunya sangat rapi sehingga terkadang
masyarakat tidak menyangka kalau orang tersebut pelaku kejahatan, demikian
sebaliknya. Jika calon korban mampu melakukan proteksi diri maka kecil
kemungkinan perdagangan orang dapat terjadi, terlebih di sini pelakunya bukan
orang yang bodoh atau tidak berpendidikan, rata-rata mereka mempunyai jaringan
ke luar negeri.
B. Bentuk-Bentuk Tindak Perdagangan Orang
Ada beberapa bentuk tindak
perdagangan orang yang harus diwaspadai, karena terkadang masyarakat tidak
sadar bahwa dirinya sudah menjadi korban dari perdagangan orang. Bentuk-bentuk
tindak pidana perdagangan orang menurut Agus Hamim dan Agustinanto (2008: 40)
tersebut, yaitu: pertama kerja paksa seks dan eksploitasi seks – baik di luar
negeri maupun di wilayah Indonesia. Dalam banyak kasus, perempuan
dan anak-anak dijanjikan bekerja sebagai buruh migran, PRT, pekerja restoran,
penjaga toko, atau pekerjaan-pekerjaan lain tanpa keahlian tetapi kemudian
dipaksa bekerja pada industri seks saat mereka tiba di daerah tujuan.
Kedua, Pembantu Rumah Tangga (PRT) –
baik di luar ataupun di wilayah Indonesia. PRT baik yang di luar negeri maupun
yang di Indonesia diperdagangkan ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang
termasuk jam kerja wajib yang sangat panjang, penyekapan ilegal, upah yang
tidak dibayar atau yang dikurangi, kerja karena jeratan hutang, penyiksaan
fisik ataupun psikologis, penyerangan seksual, tidak diberi makan atau kurang
makanan, dan tidak boleh menjalankan agamanya atau diperintah untuk melanggar
agamanya. Beberapa majikan dan agen menyita paspor dan dokumen lain untuk
memastikan para pembantu tersebut tidak mencoba melarikan diri.
Ketiga, Bentuk Lain dari Kerja Migran
– baik di luar ataupun di wilayah Indonesia. Meskipun banyak orang Indonesia
yang bermigrasi sebagai PRT, yang lainnnya dijanjikan mendapatkan pekerjaan
yang tidak memerlukan keahlian di pabrik, restoran, industri cottage, atau toko
kecil. Beberapa dari buruh migran ini diperdagangkan ke dalam kondisi kerja
yang sewenang-wenang dan berbahaya dengan bayaran sedikit atau bahkan tidak
dibayar sama sekali. Banyak juga yang dijebak di tempat kerja seperti itu
melalui jeratan hutang, paksaan, atau kekerasan.
Keempat, Penari, Penghibur dan
Pertukaran Budaya – terutama di luar negeri. Perempuan dan anak perempuan
dijanjikan bekerja sebagai penari duta budaya, penyanyi, atau penghibur di
negara asing. Pada saat kedatangannya, banyak dari perempuan ini dipaksa untuk
bekerja di industri seks atau pada pekerjaan dengan kondisi mirip perbudakan.
Kelima, Pengantin Pesanan – terutama di luar negeri. Beberapa perempuan dan
anak perempuan yang bermigrasi sebagai istri dari orang berkebangsaan asing,
telah ditipu dengan perkawinan. Dalam kasus semacam itu, para suami mereka
memaksa istri-istri baru ini untuk bekerja untuk keluarga mereka dengan kondisi
mirip perbudakan atau menjual mereka ke industri seks.
Keenam, Beberapa Bentuk
Buruh/Pekerja Anak – terutama di Indonesia. Beberapa (tidak semua) anak yang
berada di jalanan untuk mengemis, mencari ikan di lepas pantai seperti jermal,
dan bekerja di perkebunan telah diperdagangkan ke dalam situasi yang mereka
hadapi saat ini. Dan terakhir, Penjualan Bayi – baik di luar negeri ataupun di
Indonesia. Beberapa buruh migran Indonesia (TKI) ditipu dengan perkawinan palsu
saat di luar negeri dan kemudian mereka dipaksa untuk menyerahkan bayinya untuk
diadopsi ilegal. Dalam kasus yang lain, ibu rumah tangga Indonesia ditipu oleh
PRT kepercayaannya yang melarikan bayi ibu tersebut dan kemudian menjual bayi
tersebut ke pasar gelap.
C. Rute Tindak Pidana Perdagangan
Orang di Indonesia
Perdagangan orang terjadi di seluruh
Indonesia dengan beberapa daerah ditengarai sebagai daerah pengirim/asal,
penerima dan transit. Secara umum daerah-daerah ini terkait dengan
daerah-daerah pengirim/asal, penerima dan transit untuk buruh migran, karena
biasanya trafiking akan memangsa orang-orang yang mencari kerja jauh dari
rumah/tempat asal mereka.
Daerah pengirim/asal adalah daerah
asal korban, dimana daerah pengirim cenderung merupakan daerah yang minim dan
biasanya pedesaan dan relatif miskin. Daerah-daerah pengirim ini biasanya
berlokasi di Jawa, meskipun Lombok, Sulawesi Utara, dan Lampung juga dikenal
sebagai daerah pengirim (Palupi, 2009: 15).
Daerah penerima adalah daerah-daerah
kemana para korban dikirim. Tujuan tertentu mempunyai ciri trafiking tertentu.
Misalnya: Kerja Seks secara Paksa: Batam, Jakarta, Bali, Surabaya, Papua dan
daerah lainnya dimana industri seks dan pariwisata ditemukan di Indonesia.
Jepang, Malaysia, Singapura dan Korea Selatan dikenal sebagai daerah tujuan
internasional. Pembantu Rumah Tangga (PRT): Semua daerah kota besar baik
di Indonesia maupun Hong Kong, Malaysia, Timur Tengah, Singapura ataupun
Taiwan. Untuk pengantin pesanan: Taiwan. Penari budaya: Jepang. Indonesia
sebagai Negara Penerima: Ada beberapa bukti bahwa para perempuan juga ditrafik
ke Indonesia dari Asia dan Eropa untuk bekerja di industri seks (Palupi, 2009:
16).
Daerah transit adalah daerah-daerah
yag dilewati oleh para korban sebelum sampai ke tempat tujuan. Kebanyakan
daerah transit adalah daerah-daerah yang memiliki pelabuhan, bandara, terminal
transportasi darat yang besar dan daerah-daerah perbatasan internasional. Ini
termasuk Jakarta, Batam, Surabaya, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan
Lampung.
D. Dampak dari Tindak Pidana Perdagangan Orang
Akibat yang ditimbulkan oleh tindak
pidana perdagangan orang sangat komplek, artinya selain timbul dampak sosial di
masyarakat juga menimbulkan dampak emosional terhadap para korban, diantaranya
adalah perasaan kehilangan kendali dan kurangnya rasa aman. Kejadian yang
traumatis merenggut perasaan kendali diri individu yang sering mengarah kepada
perasaan tidak nyaman dan kurang aman yang menyeluruh dan mendalam, serta
korban telah secara paksa dipisahkan dari sistem lingkungan dan kekerabatan
mereka – sehingga wilayah keselamatan serta keamanan mereka telah dilanggar.
Mereka mungkin juga telah diancam oleh pelaku agar tidak menceritakan
pengalaman mereka. Hal ini menyebabkan mereka sulit untuk mempercayai orang
lain dan berbicara mengenai pengalaman mereka. Hal yang paling penting ketika
berhubungan dengan para para korban dalam pemberian layanan adalah menciptakan
rasa aman bagi mereka.
Rasa tidak percaya diri. Orang yang
telah menjadi korban kekerasan dan kekerasan seksual biasanya memiliki rasa
kepercayaan diri yang kurang. Ini dapat dimanifestasikan dalam berbagai macam
tingkah laku seperti depresi, rasa malu, kelesuan, respon emosional yang keras,
ketidakpekaan emosional, dan lain-lain. Stigma sosial dan rasa malu karena
beberapa alasan, diantaranya pengalaman yang telah mereka lalui selama proses
perdagangan orang (misalnya pemerkosaan, penyiksaan, pelecehan seksual), mereka
tidak berhasil untuk mendapatkan uang untuk keluarga mereka, mereka merasa
merekalah yang menyebabkan pelanggaran yang mereka alami tersebut (Luhulima dan
Kunthi Tridewiyanti, 2000: 60).
Respon emosional yang keras. Trauma
perdagangan orang dapat muncul berbagai ragam respon emosional termasuk rasa
marah, histeria, mudah menangis, sikap yang obsesif, kediaman, dan lain-lain.
Tetapi respon seperti itu tidak dapat langsung dibaca. Misalnya, jika seseorang
tertawa ketika menceritakan tentang penyerangan seksual kepada mereka, hal ini
bukan berarti bahwa orang itu merasa ceritanya lucu. Perdagangan orang
biasanya melibatkan pengkhianatan kepercayaan atau manipulasi yang dilakukan
oleh orang yang dipercaya
Memperlihatkan perilaku seksual.
Respon sosial yang sering ditemukan pada korban kekerasan seksual adalah
kecenderungan untuk memperlihatkan perilaku seksual. Hal ini dapat
dimanifestasikan dalam bentuk menggoda, menyentuh, dan lain-lain. Dan ini
biasanya terjadi pada kasus dimana korban adalah pekerja seks yang
mengkonseptualkan jati diri mereka dalam bentuk-bentuk seksual. Jenis respon
seperti ini dibentuk oleh fakta bahwa orang-orang tersebut telah menerima
perhatian pada waktu lalu melalui interaksi seksual (bukan dipaksakan) sehingga
mereka merasa bahwa satu-satunya cara agar mereka dapat menunjukkan
pengendalian diri dan/atau mereka mungkin mencoba untuk mendapatkan perhatian
dan penghargaan dari orang lain melalui perilaku seperti ini.
E. Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Pedagangan
Orang
Pencegahan tindak pidana
perdagangan orang bertujuan mencegah sedini mungkin terjadinya tindak pidana
perdagangan orang. Untuk Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana
Perdagangan Orang juga sudah diatur dalam pasal 56 sampai dengan pasal 63,
Undang-undang No. 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
Indonesia juga
mengadakan kerjasama internasional, karena perdagangan orang ini termasuk
kejahatan lintas Negara (kejahatan transnasional). Misalnya, Badan-badan
PBB, Pemerintahan asing, Kelompok negara-negara ASEAN, Lembaga Keuangan
Internasional seperti IMF, WB, dan ADB, LSM Regional dan Internasional (HAM,
Kesehatan, Bantuan Hukum, Hak Konsumen, Perlindungan Anak, Organisasi
perempuan, Hak pekerja/buruh, Serikat Buruh/Pekerja).
Dalam kerangka
instrument nasional, Indonesia dalam melakukan penanggulangan perdagangan orang
melalui beberapa cara, diantaranya menggalang kesatuan antar lembaga yaitu Kementrian
Eksekutif Negara (Meneg PP, Depnaker Trans, Kehakiman dan HAM, Depsos, Kantor
Imigrasi, Diknas, Kejaksaan, Pariwisata, Menko Bidang Ekonomi, Menkokesra,
Menkopolkam, Badan-badan Eksekutif Lokal, Legislatif (semua level), Sistem
Yudisial, Penegak Hukum – Polisi, Imigrasi, Bea Cukai, Jaksa, Hukum Militer –
penjaga perbatasan, Angkatan Laut), serta kerjasama dengan Komisi Pemberdayaan
Perempuan (KPP) yang bertindak sebagai unsur utama pemerintah dan koordinator
untuk Gugus Tugas Anti Perdagangan Orang Nasional, untuk menyiapka konsep
rencana tindakan nasional 2009-2013 mengenai perdagangan orang (Kedutaan Besar
Amerika Serikat, 2010: 7).
Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan
Anak Kepres No. 88 Tahun 2002; dibentuk melalui Keputusan Presiden RI Nomor 88
Tahun 2002. Tujuan umum Gugus Tugas ini adalah terhapusnya segala bentuk
perdagangan anak. Untuk Gugus Tugas di daerah, Menteri Dalam Negeri
mengeluarkan Surat Edaran Departemen Dalam Negeri Nomor 560/1134/PMD/2003 yang
ditujukan kepada Gubernur, Bupati, dan Walikota seluruh Indonesia. Dalam surat
edaran tersebut diarahkan bahwa focal point pelaksanaan penghapusan
perdagangan orang di daerah dilaksanakan oleh unit kerja di jajaran pemerintah
daerah yang mempunyai kewenangan menangani urusan anak melalui penyelenggaraan
pertemuan koordinasi kedinasan di daerah dengan tujuan menyusun standar minimum
dalam pemenuhan hak-hak anak, pembentukan satuan tugas penanggulangan
perdagangan orang di daerah, melakukan pengawasan ketat terhadap perekrutan
tenaga kerja, dan mengalokasikan dana APBD untuk keperluan kegiatan (Komnas
Perempuan, 2009: 24).
Beberapa provinsi dan kabupaten
membentuk rencana tindakan local dan komite anti pergangan orang. KPP
mengadakan pendidikan sosialisasi anti perdagangan orang. Pemerintah nasional
menunjukkan niat politik yang kecil untuk menegosiasikan kembali Nota Kesepahaman
(MOU) 2006 dengan Malaysia yang mengabaikan hak PRT warga negara Indonesia
untuk memegang paspor mereka saat mereka bekerja di Malaysia. Akan tetapi,
Pemerintah tidak melakukan upaya-upaya untuk mengurangi permintaan tenaga kerja
paksa atau permintaan pekerja seks komersil tahun lalu (Komnas Perempuan, 2009:
29).
Kepolisian Indonesia bekerjasama
dengan pihak berwenang Australia dan Swiss menangkap dan mendeportasi dua
pedofilia yang melakukan pelecehan seksual kepada anak-anak, dan sebuah
pengadilan di Indonesia menjatuhkan hukuman delapan tahun penjara kepada
seorang wisatawan seks anak berkebangsaaan Australia pada tahun 2009.
Pemerintah menyediakan pelatihan anti perdagangan orang kepada TNI sebelum
mereka ditugaskan ke misi perdamaian internasional.
Selain itu juga sangat dibutuhkan
peran serta masyarakat dan lembaga-lembaga kemasyarakatan atau lembaga swadaya
masyarakat (LSM), antara lain Lingkungan dan Keluarga, Organisasi
kemasyarakatan, Serikat Buruh/Serikat Pekerja, LSM (HAM Komnas HAM) , Health (YKB),
Bantuan Hukum (misalnya, LBH, PBHI), Hak Konsumen (misalnya. YLKIA),
Perlindungan Anak (misalnya, Komnas PA, Organisasi Perempuan). Termasuk juga
tokoh agama dan organisasi keagamaan serta tokoh masyarakat.
Selama tahun 2009, pemerintah
Indonesia mengadili 129 tersangka pelaku perdagangan orang. Sedangkan pada
tahun 2008 mengadili 109. Penjatuhan vonis pada tahun 2009 juga meningkat
menjadi 55 dari 46 pada tahun 2008. Sebanyak 55 pengadilan dan 9 penjatuhan
vonis pada tahun 2009 dilakukan atas kasus perdagangan buruh. Lama hukuman
rata-rata yang diberikan kepada terpidana adalah 43 bulan, hampir sama dengan
rata-rata tahun 2008 yakni 45 bulan (Kedutaan Besar Amerika Serikat, 2010: 8).
Akan tetapi, dengan mengadili
tersangka tersebut usaha Indonesia masih belum maksimal, karena pemerintah
Indonesia tidak sepenuhnya memenuhi standar minimum pemberantasan perdagangan
orang. Selain itu, pemerintah Indonesia belum menggunakan Undang-undang No. 21
Tahun 2007, tetapi masih menggunakan Undang-undang yang lain, misalnya
Undang-undang mengenai Perburuhan. Sehingga belum ada restitusi bagi korban.
Disinilah sebenarnya arti penting
dari kriminologi yang terutama digunakan digunakan untuk memberi petunjuk
bagaimana masyarakat dapat memberantas kejahatan dengan hasil yang baik dan
lebih-lebih bisa menghindarinya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perdagangan orang di Indonesia
merupakan masalah yang sangat kompleks. Para korban yang ditrafiking bekerja
dengan jam kerja relatif panjang dan rawan kekerasan fisik, mental, dan
seksual. Mereka tidak mempunyai dukungan atau perlindungan minimal dari pihak
luar. Kesehatan mereka juga terancam oleh infeksi seksual, perdagangan alkohol
dan obat-obatan terlarang.
Mengatasi permasalahan perdagangan
orang tidak hanya melibatkan satu lembaga, akan tetapi harus melibatkan semua
pemangku kepentingan yang ada di masyarakat, yaitu instansi-instansi
pemerintah, LSM, organisasi kemasyarakatan yang tergabung dalam sebuah
kemitraan yang diperkuat oleh peraturan pemerintah, paling tidak keputusan
menteri untuk bersama-sama menangani masalah perdagangan orang.
Salah satu faktor pendorong
perdagangan orang adalah ketidak-mampuan sistem pendidikan yang ada maupun
masyarakat untuk mempertahankan anggota keluarganya supaya tidak putus sekolah
dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Petugas kelurahan dan kecamatan
yang membantu pemalsuan KTP yang diperdagangkan juga menjadi faktor pendorong
utama perdagangan orang. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan instrumen hukum
atau kebijakan yang lebih ketat secara efektif mencegah pemalsuan KTP.
B. Saran
Pemerintah Indonesia diharapkan
secepatnya menetapkan standar minimum pembasmian perdagangan orang. Selain itu,
harus mulai menggunakan Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana perdagangan Orang pada praktek-praktek perdagangan buruh,
termasuk kerja ijon.
Adanya perbaikan kinerja pengadilan,
pendakwaan dan penjatuhan hukuman atas kasus-kasus perdagangan buruh, termasuk
yang melibatkan agen-agen perekrutan buruh. Memeriksa kembali Nota Kesepahaman
dengan Negara-negara yang menjadi tujuan perdagangan untuk memasukkan
perlindungan terhadap korban.
Perlu peningkatan upaya untuk
mengadili dan mendakwa pejabat publik yang menarik keuntungan dari atau
terlibat dalam perdagangan orang.Meningkatkan pendanaan bagi upaya penegakan
hukum dan menyelamatkan, memulihkan, dan mengintegrasikan para korban.
DAFTAR PUSTAKA
Bonger.
1995. Pengantar Tentang Kriminologi. Jakarta: Pustaka Sarjana
Hamim, Anis
dan Agustinanto. 2008. Mencari Solusi Keadilan Bagi Perempuan Korban
Perdagangan; Sulistyowati Irianti (ed). Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum yang
Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor
Kedutaan
Besar Amerika Serikat (Jakarta-Indonesia). 2010. Laporan Departemen Luar
Negeri Amerika Serikat tentang Perdagangan Orang di Indonesia.
Komnas
perempuan. 2009. Penanganan Kasus-kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Di
Lingkungan Peradilan Umum. Australian Government (AusAID)
_______,
2009. Perlindungan Terhadap Saksi dan Korban. U.S. Embassy Democracy
Commission
Luhulima,
Achie Sudiarti dan Kunthi Tridewiyanti. 2000. Pola Tingkah Laku Sosial
Budaya dan Kekerasan Terhadap Perempuan; Achie Sudiarti Luhulima (ed).
Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif
pemecahannya. Jakarta:Convention Watch
Palupi, Sri.
2009. Urgensi Amandemen Undang-undang No. 39 Tahun 2004, tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Yogyakarta: Institute for Ecosoc
Rights
Santoso,
Topo dan Eva Achjani Zulfa. 2007. Kriminologi. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Undang-undang
No 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Valentina.
2008. Perdagangan perempuan dan Anak Dalam Pandangan Seorang Aktivis
Perempuan; Sulistyowati Irianto (ed). Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum yang
Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor
file:///C:/Users/COMPAQ/Documents/Umi%20File%27s/kriminologi/tindak-pidana-perdagangan-orang.html diunduh pada hari Senin, 16
Desember 2013 pukul 17:41