Senin, 09 Desember 2013


. Sejarah Awal Grebeg Besar Demak
Dalam bahasa Jawa Garebeg, Grebeg, Gerbeg, bermakna : suara angin yang menderu. Kata bahasa Jawa anggarebeg, mengandung makna mengiring raja, pembesar atau pengantin. Grebeg bisa juga diartikan digiring, dikumpulkan, dan dikepung. Jadi grebeg bisa berarti dikumpulkan dalam suatu tempat untuk kepentingan khusus. Adapun Grebeg Besar seremonial yang terkenal di Demak, kata “Besar” adalah mengambil nama bulan yaitu bulan Besar (Dzulhijah). Maka makna Grebeg Besar adalah kumpulnya masyarakat Islam pada bulan Besar, sekali dalam setahun yaitu untuk suatu kepentingan da’wah Islamiyah di Masjid agung Demak. Dari cerita lisan diturturkan bahwa dahulu kala para raja Jawa selalu menyelenggarakan selamatan kerajaan (bahasa Jawa = wilujengan nagari) setiap tahun baru dan disebut Rojowedo, artinya kitab suci raja atau kebajikan raja. Disebut pula, ada yang mengatakan Rojomedo, artinya hewan korban kerajaan. Tujuan selamatan kerajaan yang hakikatnya adalah suatu cara korban agar Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan perlindungan, keselamatan kepada raja dan kerajaan serta rakyatnya.
Dalam peristiwa itu, rakyat datang menghadap raja untuk menyampaikan sembah baktinya. Raja keluar dari keratin lalu duduk di singgasana keemasan (bahasa jawa = dhampar kencono) di bangsal Ponconiti. Penampilan raja untuk menerima sembah bakti rakyat yang datang mengahadap (bahasa jawa=sowan), diiringi (bahasa jawa = ginarebeg) oleh para putra dan segenap punggawa Keraton. Tak lama setelah Raden Patah dinobatkan menjadi Sultan pertama kasultanan Demak dengan gelar Kanjeng Sultan Raden Abdul Fattah Al Akbar Sayyidin Panatagama, baginda langsung menghapuskan adat menyelenggarakan upacara kurban yang selalu dilakukan oleh para raja Jawa-Hindu terdahulu. Sebab adat yang seperti itu, dinilai bertentangan dengan aqidah Islam. Penghapusan adat itu menimbulkan keresahan sebagian kalangan rakyat, sebab rakyat yang selama berabad-abad turun-temurun sudah terbiasa hidup dengan adat dari kepercayaan lama, belum dapat menerima sikap rajanya yang baru itu. Keresahan tersebut menimbulkan gangguan keamanan Negara, sebab khawatir timbul wabah penyakit menular. Atas saran para wali, adat kepercayaan lama itu agar dihidupkan kembali, namun diberi warna keislaman yaitu hewan kurban disembelih menurut aturan agama Islam. Awal dan akhir doa selamatan berupa do’a Islam yang dipanjatkan oleh Sunan Giri dan Sunan Bonang. Sunan Kalijaga mengetahui bahwa pada waktu itu rakyat menyukai perayaan dan keramaian yang dihubungkan dengan upacara keagamaan. Apalagi jika perayaan dan keramaian ada juga irama gamelannya, tentu saja akan sangat menarik perhatian rakyat untuk datang melihatnya. Akhirnya timbullah gagasan Sunan Kalijaga supaya kerajaan menyelenggarakan perayaaan dan keramaian setiap menyongsong hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada bulan Rabiul Awal. Untuk menarik perhatian rakyat agar mau datang ke Masjid Besar, maka dibunyikanlah gamelan yang ditempatkan di halaman masjid. Setelah berkumpul maka para wali dapat berda’wah langsung dihadapan rakyat. Maka dalam bulan Rabiul Awal, 12 (dua belas) hari sebelum kelahiran Nabi, diselenggarakan perayaan dan keramaian yang disebut Sekaten. Di halaman Masjid Besar didirikan tempat khusus untuk menaruh dan membunyikan gamelan yang disebut pagongan. Pagongan adalah tempat gong (gamelan) yang dibuat oleh Sunan Giri. Konon sebagian dari gendhing-gendhing (lagu) gamelan diciptakan oleh Sunan Giri dan sebagian lagi oleh Sunan Kalijaga. Selama 12 hari (dua belas) hari gamelan diperdengarkan terus menerus, kecuali pada waktu-waktu sholat dan pada malam jum’at sampai lewat sholat Jum’at.
B. Tradisi Grebeg Besar:  Catatan sejarah Kabupaten Demak memang tidak lepas dari perjuangan para wali (walisongo) dalam kegiatan menyebarkan agama Islam pada abad XV, yaitu keberadaan Demak sebagai pusat kerajaan Islam (Kasultanan Bintoro) di Pulau Jawa dengan ”masterpieces”nya adalah Sunan Kalijaga dan Sultan Patah yang diakui merupakan tokoh-tokoh besar dan berpengaruh dalam lintas sejarah Kabupaten Demak.
Tidaklah mengherankan jika kemudian beragam acara ritual yang dimulai atau diperkenalkan oleh kedua tokoh tersebut masih berlangsung sampai saat ini dan menjadi semacam upacara ritual. Menurut Rafael Raga terdapat dua macam ritus yaitu: (1) Ritus penyucian (purification) yaitu pelepasan diri dari yang jahat dan masuk kedalam dimensi baik, tujuannya untuk memberikan kekuatan yang baik dan mencegah kekuatan yang jahat. Sarana yang paling dikenal adalah air, air tidak hanya membersihkan noda tapi juga menghidupkan, (2) Ritus kurban (socrifice) yaitu mengadakan upacara kurban (kurban persembahan,pujian) tampak bahwa manusia memberikan sesuatu kepada Yang Ilahi demi suatu kebaikandan ketentraman hidup.
Pada masa Sunan Kalijaga menjadi penasihat spiritual Sultan Bintoro, khususnya pada masa emas kejayaan pemerintahan Sultan Patah. Beliau antara lain menyelenggarakan Grebeg Besar sebagai media da’wah. Tradisi ini diselenggarakan tiap tanggal 10 Dzulhijjah bersama dengan datangnya peringatan Hari Raya Idul Adha (Qurban). Hanya saja sebetulnya Grebeg Besar ini pada masa pertama kalinya mulai dilaksanakan di Demak, tidak hanya sekali setahun pada saat Idul Adha. Tetapi memang menurut catatan sejarahnya, semula tradisi Grebeg Besar ada empat, yaitu Grebeg Maulid, Grebeg Dal, Grebeg Syawal, dan Grebeg Besar. Adapun sampai kini masih berlangsung di Demak adalah Grebeg Besar. Sementara di luar Grebeg besar yang kini masih dilestarikan adalah di kerajaan Solo, Yogyakarta dan Cirebon.
C. Prosesi Ritual Grebeg Besar Demak
Grebeg Besar adalah kumpulan masyarakat Islam pada bulan Besar, yang dilaksanakan setahun sekali untuk kepentingan dakwah Islamiyah di masjid agung Demak. Adapun prosesnya meliputi ziarah ke makam Sultan-Sultan Demak dan Sunan Kalijaga. Tumpeng Sanga dilaksanakan pada malam menjelang tanggal 10 Dzulhijah. Pada saat yang sama di Kadilangu juga dilaksanakan kegiatan serupa yaitu selamatan Ancakan. Selamatan Ancakan dilaksanakan di Pendapa Natabratan yang terletak di sebelah timur Kasepuhan Kadilangu sekitar 500 meter. Ancakan adalah tempat nasi dan lauk pauk yang terbuat dari anyaman bambu. Nasi dan lauk pauk sebelum diletakkan diatas Ancak, dilapisi dahulu dengan daun jati. Tumpeng Ancakan terdiri dari nasi, lauk pauk, kluban.
Pada pagi hari sekitar pukul 05.30 tepatnya tanggal 10 Dzulhijah, masyarakat melaksanakan Sholat Idhul Adha di Masjid Agung Demak. Para jamaah berdatangan untuk melaksanakan sholat. Pada pukul 09.00 WIB di pendapa Kabupaten diadakan acara iring-iringan uborampe minyak jamas. Uborampe artinya perlengkapan. Uborampe minyak jamas digunakan untuk mensucikan pusaka peninggalan Kanjeng Sunan Kalijaga yang berupa Kotang Ontokusumo, keris pusaka Kyai Sirikan dan keris pusaka Kyai Carubuk. Acara penjamasan Pusaka peninggalan Sunan kalijaga menjadi inti dari ritual Grebeg Besar. Nama lain Sunan Kalijaga adalah Kaki waloko. Kaki/Aki adalah sebutan bagi orang yang tua. Pusaka peninggalan Sunan Kalijaga yang dijamasi antara lain adalah Kotang Ontokusumo, keris Kyai Carubuk dan keris Kyai Sirikan.
Penjelasan dari tata cara ritual Grebeg Besar adalah sebagai berikut : Bupati beserta pelaku ritual lainnya berada pada alam profan yang kemudian dengan mengadakan ziarah mereka melompat ke alam sakral. Sesuai yang diungkap dalam teori The Ritual Proses (1969) Victor Turner yang merujuk pada Van Gennep dalam The Ritual Passage (1909) terjemahan Winangun bahwa, masa peralihan dalam ritual disebut dengan separasi yaitu pelepasan individu atau kelompok baik dari keadaan tetap dalam struktur sosial maupun dari serangkaian keadaan kultural. Pada tahap selanjutnya adalah, fase liminalitas yaitu Bupati beserta para peziarah yang melakukan ziarah di makam. Pada saat itu mereka mengalami keadaan ambigu atau berada dalam ambang pintu liminal. Mereka memanjatkan doa-doa yang dikhususkan bagi para leluhur. Doa merupakan bentuk komunikasi yang ditujukan kepada Allah SWT.
Tahap berikutnya adalah post liminal atau reintegation, yaitu kembalinya peziarah ke dalam masyarakat sehari hari. Penyatuan kembali menjadi anggota masyarakat membawa mereka ke perubahan pandangan-pandangan yang tidak dimiliki sebelumnya.
Tumpeng Sanga diartikan sebagai simbol Wali yang berjumlah sembilan orang. Menurut Dilinstone (2002:20) dalam teori simbol mengatakan bahwa, simbol adalah kata atau barang atau objek. Tumpeng yang berbentuk kerucut menjulang ke atas mempunyai makna bahwa, manusia harus selalu ingat kepada Allah. Kerucut lancip juga mempunyai makna doa yang dipanjatkan manusia kepada Allah. Para Wali yang berjumlah sembilan orang (Wali sanga), sehingga diharapkan agar mereka senantiasa bersyukur dan selalu ingat kepada Allah SAW.
Pada saat yang sama di Kadilangu juga dilaksanakan kegiatan serupa yaitu selamatan Ancakan. Selamatan Ancakan juga tersebut bertujuan untuk memohon berkah kepada Allah SWT agar sesepuh dan seluruh anggota panitia penjamasan dapat melaksanakan tugas dengan lancar tanpa halangan suatu apapun juga. Tahap separasi terlihat pada saat masyarakat Islam Demak berdatangan ke Masjid Agung untuk melaksanakan sholat. Sholat dapat diartikan berdoa. Menurut hukum Islam (Syara’) sholat berarti menghadapkan jiwa dan raga kepada Allah. Sholat Idul Adha merupakan ibadah untuk membersihkan diri dari perbuatan dosa agar kembali suci. Suci dapat diartikan bersih lahir dan batin. Sesuai dengan teori Performance Studies yang mengatakan bahwa, ritual adalah simbol yang mendramatisir sebagai tindakan untuk berfikir, ritual mengintegrasikan pikiran dan tindakan. Ibadah dapat diartikan tunduk dan patuh secara total kepada Allah. Beribadah bukan hanya tunduk secara ritual, melainkan juga tunduk secara sosial. Oleh sebab itu manusia harus menjaga hubungan dengan Allah dan dengan sesamanya. Penyembelihan hewan kurban merupakan suatu aktivitas ritual persembahan. Persembahan kepada Allah dengan cara beribadah, melakukan sholat Idul Adha dan penyembelihan hewan kurban. Idul Adha adalah ritus kurban memiliki makna ketaqwaan manusia atas perintah sang Khalik. Manusia diajarkan untuk berbagi kepada yang tidak mampu, jika diberi rizki yang lebih.
Uborampe artinya perlengkapan. Uborampe minyak jamas digunakan untuk mensucikan pusaka peninggalan Kanjeng Sunan Kalijaga yang berupa Kotang Ontokusumo, keris pusaka Kyai Sirikan dan keris pusaka Kyai Carubuk. Minyak yang digunakan untuk menjamasi pusaka atau disebut dengan Minyak Jamas diambil dari kraton Surakarta. Kemudian minyak tersebut dicampur dengan minyak dari Kadilangu. Penjamasan artinya penyucian, dapat dimaknai pula manusia harus selalu menyucikan diri dari dosa dengan beribadah, bertaubat atas segala dosa yang telah diperbuat dalam hidupnya.
D. Fungsi dan Nilai Grebeg Besar Demak
Fungsi Grebeg Besar bagi masyarakat sekarang ini antara lain adalah sebagai sarana upacara adat. Ritual Grebeg Besar merupakan salah satu kesenian sebagai media pelembagaan atau religi yang bertujuan sebagai penghormatan dan rasa syukur atas perjuangan para leluhur sehubungan dengan kegiatan syiar Islam yang dilaksanakan oleh Walisongo terutama Kanjeng Sunan Kalijaga. Fungsi ritual Grebeg Besar di Demak bagi masyarakat sekarang masih tetap sebagai sarana upacara ritual. Grebeg Besar sebagai media pelembagaan religi yang bertujuan untuk mengekspresikan rasa syukur atas limpahan Rahmat Allah SWT serta menghormati Walisongo yang telah berjasa dalam menyebarkan agama Islam Khususnya di Demak. Grebeg Besar merupakan media hiburan rakyat yang murah meriah serta dapat menghilangkan sejenak kepenatan atau kejenuhan dalam menjalani rutinitas sehari-hari. Grebeg Besar dijadikan sarana hiburan yang sangat menarik dan murah meriah.
Tumpeng Sanga merupakan sebuah simbol Wali yang yang berjumlah sembilan orang. Minyak jamas merupakan bentuk simbol yang digunakan untuk menyucikan pusaka peninggalan Kanjeng Sunan. Minyak tersebut dicampur dengan air. Air dalam kehidupan sehari-hari berfungsi untuk membersihkan kotoran. Air yang sakral dalam upacara ritual mempunyai makna simbolis untuk mengungkapkan suatu gagasan, kegiatan yang bertujuan untuk pembersihan dosa, menyelamatkan, membersihkan dari segala rintangan. Gamelan dan karawitan dalam Grebeg Besar merupakan simbol ritual yang juga digunakan sebagai media komunikasi. Dalam gending-gending Jawa dan musik Sholawatan yang ditampilkan mempunyai fungsi menyampaikan pesan sehingga menjadi media komunikasi yang komunikatif guna kelancaran dakwah Islam. Grebeg Besar mempunyai fungsi mengatur karena norma mempunyai daya menguasai interaksi dan komunikasi, tingkah laku manusia diatur atas dasar norma-norma tersebut. Norma mengabdikan dirinya pada nilai-nilai sehingga nilai yang baik akan mendapat dukungan sedangkan nilai buruk harus dielakkan. Dapat disimpulkan bahwa Grebeg Besar dapat digunakan sebagai media dalam menjaga keharmonisan norma-norma. Semua pendukung ritual beserta masyarakat yang terlibat, selalu menjaga dan mentaati aturan serta norma yang berlaku demi lancarnya penyelanggaraan Grebeg Besar.
Grebeg Besar sebagai obyek wisata daya pikat utama yang membuat masyarakat tertarik adalah arak-arakan serta iring-iringan minyak jamas yang dibawa dari pendapa Kabupaten Ke Kadilangu. Grebeg Besar tersebut banyak menampilkan simbol ekspresif atau seni baik seni tari, seni musik maupun seni rupa.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Grebeg Besar antara lain adalah religi atau ibadah. Grebeg Besar mempunyai nilai religi, sebab dalam Grebeg Besar merupakansuatu kagiatan keagamaan yang memiliki ajaran kepercayaan, norma-norma, aturan-aturan untuk melakukan upacara. Masyarakat percaya bahwa ajaran-ajaran yang disampaikan oleh para Wali dari Nabi Muhammad SAW adalah benar. Masyarakat Islam dengan sepenuh hati menjalankan ibadah dan mengamalkan ajaran Islam dengan sepenuh hati.
Nilai kegotong-royongan terlihat pada persiapan acara pengajian serta tumpeng sembilan disiapkan oleh takmir masjid. Grebeg Besar merupakan acara ritual yang penuh dengan aktivitas yang mengandung nilai-nilai solidaritas. Dalam berbagai atraksi maupun pertunjukan yang mewarnai acara tersebut diperlukan rasa kesetiakawanan. Sifat-sifat kesetiakawanan tersebut merupakan sifat yang penting dan berguna dalam kehidupan manusia. Masyarakat berbaur menjadi satu saling mengenal sehingga menambah terjalinnya rasa solidaritas antar sesama masyarakat.
Terkait dengan pelaksanaan Grebeg Besar dapat dilihat dari partisipasi semua pihak yang ikut mendukung acara tersebut. Nilai kepemimpinan juga terkandung dalam acara Grebeg Besar yang terungkap melalui kegiatan yang dipimpin oleh Bupati. Acara tersebut terselenggara dengan baik serta himbauan dan wejangan kepada warga masyarakat merupakan suatu bentuk pencerahan masyarakat agar dapat menjalani kehidupan kemasyarakatan dengan tentram dan
damai. Nilai tanggungjawab melibatkan pelaku ritual beserta semua warga masyarakat yang mengikuti acara Grebeg Besar. Nilai etika yang lain juga terlihat pada acara ritual di Pendapa sewaktu lurah Tamtama mengahadap Bupati untuk menerima perintah mengantar minyak Jamas. Lurah Tamtama mengahadap Bupati dengan berjalan jongkok. Berjalan jongkok serta menghaturkan sembah, tindakan tersebut menunjukkan rasa hormat seorang abdi dalem kepada rajanya. Nilai etika selanjutnya terungkap dari cara berbicara pranata cara atau pemandu acara dalam ritual tersebut menggunakan bahasa Jawa. Para undangan yang datang saling berjabat tangan dan saling menyapa. Nilai estetis terlihat pula dalam rangkaian acara Grebeg Besar. Sarana yang digunakan sebagai pendukung upacara seperti tumpeng yang berjumlah sembilan buah, sholawatan yang dilantunkan pada saat slametan tumpeng sanga. Iringan gamelan yang dipertunjukan di Pendapa, tarian Bedaya yang ditarikan oleh sembilan penari. Grebeg Besar mempunyai nilai estetis dikarenakan dalam acara tersebut begitu banyak pertunjukan yang ditampilkan serta sarana yang digunakan. Pertunjukkan yang ditampilkan sangat menarik perhatian masyarakat yang menyaksikannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar