Rabu, 12 November 2014

Makalah Hukum Acara Pidana

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perkosaan adalah kejahatan yang sangat serius.Ini adalahkejahatan yang menginjak-injak martabat kemanusiaan.Akibat dariperkosaan tidak hanya terjadi pada korban saja.Secara sosial, perkosaanmembuat masyarakat semakin cemas.Bahkan dapat menghilangkan peransosial korbannya dalam masyarakat. Penderitaan korban tidak hanyadialami saat terjadi kasus. Secara psikologis, korban menderita sepanjanghidupnya.Ia bisa menjadi depresi, kecemasan yang berkepanjangan bahkan dapat mendorongnya untuk melakukan tindakan bunuh diri.Bahkan bagi korban yang dapat bertahan secara mental masih jugamendapat stigma negatif dari masyarakat. Bagi yang kasusnya terekspos,mereka mengalami perkosaan kedua oleh media, polisi dan penegak hukum (saat proses penyidikan hingga pengadilan).Ironisnya perkosaan termasuk kejahatan yang sangat sering terjadi.Kasus perkosaan menempati peringkat nomor 2 setelah pembunuhan (Darwin dalam Sulistyaningsih dan Fatchurohman, 2002).
Padahal kita sudah memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur tentang sistem acara pidana. KUHAP sangat memperhatikan hak-hak seorang yang tersangkut tindak pidana, mulai dari proses penyelidikan , penyidikan, penuntutan, putusan pengadilan oleh hakim, hingga pelaksanaan putusan. Dalam proses peradilan pidana baik tersangka maupun korban kejahatan (victim of crime) menghendaki keadilan. Bagi tersangka menghendaki perkaranya diperiksa secara adil dengan mengindahkan hak-haknya serta aturan main yang telah ditentukan, namun bagi korban juga menghendaki agar tersangka diadili dan kalau perlu dihukum seberat-beratnya, bahkan berharap adanya ganti rugi untuk memulihkan keadaan.
Selama ini kepentingan dan hak-hak tersangka lebih diperhatikan dan diutamakan dari pada kepentingan dan hak-hak korban. Bagaimana tidak, sejak awal proses pemerikasaan hak-hak tersangka dilindungi, pelaku kejahatan berhak memperoleh bantuan hukum, memperoleh perlakuan yang baik, dijauhkan dari penyiksaan, diberitahukan tentang kejahatan yang disangkakan kepadanya, hak memperoleh pemidaan secara manusiawi, bahkan hak untuk meminta ganti rugi manakala terjadi kekeliruan dalam proses perkara pidana, singkatnya segala hak dan atribut yang melekat pada tersagka dikemas dalam KUHAP.
Adapun hak korban dikemas sangat minim, bahkan tidak diakomodir oleh KUHAP walaupun kita mengetahui bahwa derita yang dialaminya sudah dirasakan ketika terjadinya kejahatan, saat melapor hingga mengikuti proses persidangan. Trauma akibat akan menerima perlakuan tidak menyenangkan dari lingkungannya. Hal ini berimplikasi pada enggannya korban untuk melapor kejadian yang dideritanya, karena semula laporan itu bertujuan untuk mengurangi beban masalah yang dideritanya, menjadi permasalahan baru baik berupa cemooh dari masyarakat maupun dari aparatur penegak hukum yang terkadang kurang responsip dan tidak bersahabat, belum lagi karena adanya intimidasi dari tersangka terhadap korban.




1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang memicu terjadinya kasus pemerkosaan?
2. Bagaiamana perlindungan korban tindak pidana perkosaan dalam Hukum Acara        Pidana?
3. Apakah ada ganti rugi untuk korban?













BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
A.    Faktor pemicu kasus pemerkosaan
Pada kasus perkosaan, pelaku menganggap bahwa tingkahlaku wanitalah yang menjadi faktor pemicu terjadinya kasus pemerkosaan antara lain seperti cara berjalan, berbicara, gerakan tubuhdanpenampilannya (gaya pakaian, make up, parfum) adalah untukmemikat kaum laki-laki. Atau secara lebih kasar, meminta laki-lakiuntuk berhubungan seks dengan mereka.Bahkan yang lebihekstrim, wanita dianggap memiliki fantasi ingin diperkosa. Dan dalamkonteks di Indonesia kita sering dengar, saat kasus perkosaanterjadi, masyarakat menyalahkan korban dengan pakaiannya yangminim, dan penampilanya yang berlebihan atau perilaku wanita yanggampangan (mudah percaya/diajak laki-laki).Sedang dalam kasus pencabulan, pelaku menganggap anak-anak atau korban yang senang berdekatan dengannya, sering memeluknya, suka bermanja-manja, sebenarnya menginginkanuntuk diper lakukan lebih. Misalnya saat bermain bersama secara tidak sengaja mereka memperlihatkan tubuhnya, memeluk pelaku, minta dipangku atau digendong, pelaku menganggap hal itusebagai undangan untuk bertindak lebih jauh.
B.     Perlindungan Korban Tindak Pidana Perkosaan dalam Hukum Acara Pidana
Hakikat pembaharuan hukum pidana menurut Barda Nawawi yaitu mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.
Pembaruan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan (policy), karena merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy) serta dalam kebijakan itu sendiri terkandung pula pertimbangan nilai.Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana dapat dilihat dari dua sudut pendekatan yakni kebijakan dan nilai.
a)  Pendekatan kebijakan ada tiga klasifikasi yaitu:
•         Sebagai bagian dari kebijakan sosial yakni untuk mengatasi masalah-masalah sosial.
•         Sebagai bagian dari kebijakan kriminal yakni upaya perlindungan masyarakat.
•         Sebagai bagian dari kebijakan hukum yakni, memperbaiki substansi hukum.
b)  Pendekatan nilai yakni, pembaharuan hukum pidana hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penelitian kembali (reorientasi dan reevaluasi), nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normative dan substantive hokum pidana yang dicita-citakan.
Pembaharuan hukum pidana sebagai manifestasi untuk menanggulangi tindak kejahatan harus berorientasi tidak hanya kuantitas perundang-undangannya (legal reform) melainkan berorientasi pada kualitas atau nilai-nilai extra legal masuk ke dalamnya (law reform), dengan kata lain, usaha mengurangi meningkatnya tindak pidana baik secara kuantitas maupun secara kualitas yang selama ini fokus perhatiannya hanya tertuju pada upaya-upaya bersifat teknis.Disamping itu, di dalam penegakan hukum pidana adanya pandangan bahwa, korban hanya berperan sebagai instrument pendukung dalam mengungkap kebenaran materiil yakni sebagai saksi belaka.
Konsep baru tentang tindak pidana harus dengan adanya kesadaran atau keinginan untuk merancang bangun ruang hukum pidana ke dalam konsep monodualistik yakni perhatiannya tidak hanya kepada pelaku, namun kepada masyarakat.
Pembaharuan hukum pidana (penal reform) sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy) itu tidak hanya fokus pada tersangka melainkan kepada korban dan juga masyarakat luas. Oleh karena itu, dengan adanya undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, khususnya apa yang tercantum pada pasal 5 angka 1 mengenai perlindungan hak-hak saksi dan korban terutama dalam hal adanya perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.mendapatkan informasi berupa perkembangan kasus yang dialaminya dalam proses persidangan hingga putusan hakim dari pengadilan, mengetahui terpidana dibebaskan, dan memperoleh kompensasi, restitusi, dan jaminan atau santunan untuk kesejahteraan sosial.
Hal di atas didasari paradigma dasar bahwa korban tindak pidana perkosaan adalah pihak yang paling dirugikan, oleh karena Negara menjamin adanya perlindungan atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta hak rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat, sebagaimana diamanatkan UUD 1945 BAB XA Mengenai Hak Asasi Manusia, terutama pasal 28 G ayat (1). Oleh karena itu negara berkewajiban memberikan kompensasi dan restitusi, serta jaminan atau santunan untuk kesejahteraan sosial kepada korban tindak pidana perkosaan.
C.     Pengaturan Ganti Rugi untuk Korban
Masyarakat pendamba keadilan pada 18 Juli tahun 2006 menyambut dengan bergembira dengan diundangkannya Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, selanjutnya ditulis UU PSK. Lahirnya UU PSK diharapkan akan menjadi payung hukum bagi perlindungan saksi dan korban yang selama ini dirasakan kurang dilindungi dalam hukum acara di Indonesia.
Bahwa konteks kehadiran UU PSK adalah dalam kerangka untuk melengkapi pranata prosedural dalam proses peradilan pidana, Mengingat, dalam pemeriksaan terhadap perkara pidana untuk mengungkap kebenaran dan memberi keadilan berkait erat dengan kekuatan alat bukti. Sehubungan dengan kuat lemahnya suatu pembuktian dalam pemeriksaan perkara pidana, maka saksi maupun korban memiliki kedudukan yang sangat signifikan dalam upaya pengungkapan kebenaran materiil.Pada posisi itulah, saksi atau korban melekat potensi ancaman.
Bahwa hukum acara pidana yang saat ini berlaku tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi saksi atau korban yang terkait dengan suatu perkara pidana, Dalam penjelasan umum UUPSK dikatakan bahwa KUHAP Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka dan terdakwa terhadap kemungkinan adanya pelanggaran terhadap hak-hak mereka. Maka, berdasarkan asas kesamaan didepan hukum (equality before law) dalam penjelasan umum itu saksi dan korban dalam proses peradilan pidana harus diberikan jaminan perlindungan hukum. Dalam UUPSK terdapat tiga hal pokok yang patut diberikan perhatian khusus, yakni: Pertama, pendalaman mengenai cakupan atas hak-hak serta bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan kepada saksi dan korban. Termasuk didalamnya adalah prinsip-prinsip pelaksanaan pemberian perlindungan saksi dan korban maupun mekanisme kompensasi dan restitusi bagi korban.Kedua, mengenai aspek-aspek kelembagaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Hal ini menyangkut kewenangan dan cakupan tugas dari LPSK serta bagaimana hubungan fungsional LPSK dengan lembaga penegak hukum lainnya.Ketiga, ketentuan mengenai pemberian perlindungan dan bantuan.Hal ini menyangkut aspek mekannisme prosedural bekerjanya LPSK. Pemberian bantuan dalam UU PSK merupakan bagian dari salah satu bentuk perlindungan yang akan diberikan oleh LPSK. Untuk itulah, oleh UU PSK konsep pemberian bantuan dibatasi sedemikian rupa.Misalnya dalam pasal 6, yang dimaksud bantuan oleh UU PSK hanya mencakup bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko – sosial.Bantuan tersebut juga hanya diperuntukkan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Dua ketentuan bantuan tersebut, tentunya telah membatasi konsep umum pemberian bantuan bagi korban yang prinsipnya tidak diskriminatif. Sementara itu dalam Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan, khusus mengenai bantuan, disebutkan bahwa para korban harus menerima bantuan material, medis, psikologis dan sosial yang didapatkan melalui sarana pemerintah maupun saranasarana lainnya. Korban tanpa diskriminasi harus mendapatkan kemudahan dan akses informasi yang cukup terhadap pelayanan kesehatan dan sosial dan 8 bantuan lainnya.Selain itu pemerintah harus memberikan pelatihan bagi aparat penegak hukumnya (polisi, jaksa, hakim) untuk menjadikan mereka peka terhadap kebutuhan para korban sekaligus untuk memastikan pemberian bantuan yang benar dan segera.
Keterbatasan konsep mengenai korban yang berhak mendapatkan layanan pemberian bantuan dan tidak memadainya konsep pemberian bantuan dalam UU PSK dikhawatirkan akan menyulut kerancuan implementasi pemberian bantuan oleh LPSK dimasa mendatang. Dari sini, telah diidentifikasi keterbatasan UU PSK dalam menjabarkan prinsip-prinsip deklarasi tersebut.Namun dari titik itulah tantangan LPSK kedepan untuk memberikan perlindungan dan pelayanan bagi saksi dan atau korban dapat mulai dipetakan sedari dini.Bagaimana menjawab tantangan keterbatasan dalam undang-undang itu dengan kerja-kerja. Hak-hak dasar korban yang harus dipenuhi adalah right to know (hak untuk mengetahui), hak ini dapat dikaitkan dengan hak untuk mendaptkan informasi perkembangan kasus, proses hukumnya danterdakwa. Right to justice (hak untuk mendapatkan keadilan), proses hukum yang berjalan harusbertujuan untuk mengungkapkan kebenaran dan keadilan. Right to reparation (hak untuk mendapatkanpemulihan), hak ini harus dimiliki korban untuk memulihkan kondisi fisik dan psikis.
Dalam UU PSK, terdapat dua pasal yang secara khusus memerintahkan pemerintah untuk menyusun peraturan pemerintah mengenai ketentuan pemberian kompensasi dan restitusi dan ketentuan mengenai kelayakan pemberian bantuan menyangkut penentuan jangka waktu, dan besaran biaya. Kajian ini dimaksudkan untuk melihat kenyataan adanya kelemahan-kelemahan yang ada pada UU PSK, dihadapkan dengan adanya kebutuhan perangkat peraturan perundang-undangan untuk mengorganisasikan kerja-kerja konkrit LPSK kedepan.
Pembahasan difokuskan mengenai pemberian bantuan serta tata cara pemberian bantuan sebagaimana yang diatur dalam UU PSK. Kajian ini akan mengurai mengenai permasalahan-permasalahan yang terdapat pada UU PSK berkaitan dengan pemberian bantuan. Lingkup kajian akan mencakup dimensidimensi konsep pemberian bantuan, bagaiamana implikasi dari konsep terhadap tata cara pemberian bantuan yang terdapat dalam UU PSK. Dari pembahasan dua hal tersebut akan dipetakan mengenai langkah-langkah penting yang diharapkan akan dilakukan LPSK dalam rangka menjalankan fungsi dan tugasnya. Pada bagian awal, kajian ini melakukan observasi singkat bagaimana UU PSK mengatur pemberian bantuan.Dalam bagian ini diuraikan kelemahan-kelemahan elemneter yang berkaitan dengan konsep pemberian bantuan dalam UU PSK.Aspek lainnya adalah bagaimana UU PSK menempatkan LPSK sebagai lembaga yang menjalankan mandat undang-undang untuk memberikan perlindungan saksi dan korban.



















BAB III
PENUTUP

A.        KESIMPULAN
Faktor pemicu terjadinya kasus pemerkosaan antara lain seperti cara berjalan, berbicara, gerakan tubuh dan penampilannya (gaya pakaian, make up, parfum) adalah untukmemikat kaum laki-laki.
korban tindak pidana perkosaan adalah pihak yang paling dirugikan, oleh karena Negara menjamin adanya perlindungan atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta hak rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat, sebagaimana diamanatkan UUD 1945 BAB XA Mengenai Hak Asasi Manusia, terutama pasal 28 G ayat (1).
Prospek perlindungan korban tindak pidana pemerkosaan dalam proses peradilan pidana (KUHAP) di Indonesia yang akan datang seharusnya memasukkan ketentuan pidana ganti kerugian baik kompensasi, restitusi, maupun santunan untuk kesejahteraan sosial ke dalam ketentuan pidana tambahan agar hakim dapat memutuskannya bersamaan dengan pidana pokok, maupun secara mandiri jika terpidana hanya diancam dengan pidana denda secara tunggal.
B.     SARAN
            Saran dari saya, kalau bisa laki-laki jangan terlalu merendahkan wanita,jangan mudah tergiur oleh kecantikan. Dan untuk wanita kalau berpenampilan yang menutup aurat biar tidak terjadi perkosaan terus menerus.Saling menjaga kesucian dan harga diri.

                                                           DAFTAR PUSTAKA          
  • Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti,  2005.
  • Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen, & Pelaksaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta: Widya Pandjadjaran, 2009.
  • Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.
  • Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2006.
  • Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan Korban.
  • www.pemerkosaandalamKUHAP.com


MAKALAH PENCUCIAN UANG DALAM PERBANKAN

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Saat ini seiring perkembangan masa yang ditandai dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi serta arus globalisasi yang membuat dunia kejahatan pun mulai mengalami kemajuan. Hal ini terlihat banyak sekali kejahatan baru bermunculan karena proses kriminalisasi, seperti kejahatan cyber crime, drugs trafficking, terrorism, dan lainnya. Dunia internasional pun di buat kesulitan dalam memberantas kejahatan-kejahatan yang menunjukan kemajuan signifikan. Berbagai upaya dilakukan oleh masyarakat internasional untuk melakukan tindakan preventif dan bahkan represif untuk menanggulangi kejahatan-kejahatan itu.
 Hal ini di sinyalir bahwa kejahatan-kejahatan itu telah menembus dimensi dan bahkan batas-batas Negara kemudian timbulah beberapa tipologi kejahatan yang dianggap luar biasa, seperti korupsi, terorisme, dan pencucian uang. Pada makalah ini membahas tentang pencucian uang.[1] Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan definisi pencucian uang dalam Pasal 1 angka 1 yang berbunyi sebagai berikut:
“Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
 patut dicurigai merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehinnga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah.”
 Tindak pidana pencucian uang merupakan salah satu delik ekonomi yang bisa menembus batas-batas Negara dan dimensi internasional melalui system perbankan. Kejahatan inilah yang menyerang system perbankan dalam tatanan perekonomian, tentu saja hal ini menimbulkan suatu dampak yang buruk bagi system perbankan. Padahal pengertian dari Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan). Akan tetapi,pada kenyataanya bank juga dipergunakan untuk hal yang negative,untuk menyembunyikan uang haram,yang seharusnya uang itu bukan milik pribadi. Tujuan didirikannya bank tidak lagi sesuai yang diharapkan.

B. Rumusan masalah           
1. Bagaimana sejarah perkembangan praktik kejahatan pencucian uang atau money loundring?
2.Apakah tujuan dari kejahatan pencucian uang?
3. Bagaimanakah tahap-tahap proses atau mekanisme kejahatan pencucian uang?
4. Sebutkan Beberapa bentuk modus operandi money loundring.




C. PEMBAHASAN
 
1.  Sejarah Perkembangan Praktek Pencucian Uang.
Problematik pencucian uang yang dalam bahasa Inggris di kenal dengan sebutan money loundring sekarang telah menjadi pembahasan oleh khalayak. Saat ini bahkan banyak sekali literatur yang menerangkan tentang kejahatan ini terutama buku yang berkaitan dengan kriminologi. Permasalahan mengenai money laundry telah menjadi topik dan buah bibir tersendiri oleh masyarakat dunia internasional. Hal ini dikarenakan kejahatan ini telah menembus ruang dan batas-batas Negara. Kejahatan pencucian uang ini di dalam ilmu kriminologi dikategorikan merupakan salah satu bentuk kejahatan organizated crime karena didalam kejahatan ini terdapat pihak-pihak tertentu yang ikut serta dalam menikmati hasil uang haram ini dan pihak-pihak tersebut pula yang mengatur operasi kejahatan.
Istilah pencucian uang atau money loundring ini telah dikenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat, yaitu ketka seorang mafia membeli perusahaan yang sah dan resmi sebagai strateginya. Investasi terbesar adalah perusahaan pencucian pakaian atau disebut Laundromat yang saat itu terkenal di Amerika Serikat. Al Capone adalah seorang penjahat terkenal Amerika Serikat masa lalu, ia melakukan money laundry terhadap uang haram yang didapatnya dengan menggunakan jasa seorang akuntan cerdas bernama Meyer Lansky. Money laundry yang dilakukannya adalah melalui usaha binatu (laundry). Itulah asal muasal nama money loundring.
Usaha binatu milik Al Capone ini ternyata berkembang maju dengan berbagai perolehan hasil uang haram dari proses kejahatan lain yang berpa cabang usaha yang ditanamkan ke perusahaan pencucian pakaian ini, seperti uang hasil proses minuman keras illegal, hasil perjudian, dan hasil perusahaan pelacuran.
Pada dekade 1980-an uang haram ini semakin berkembang hal ini di tandai dengan berkembangnya bisnis-bisnis haram seperti perdagangan narkoba dan obat bius yang membuat untung miliaran dollar kemudian munculah istilah narco dollar. Tidak hanya kegiatan perdagangan narkoba, akan tetapi kegiatan perjudian dan pelacuran turut meramaikan perkembangan money loundring pada dekade 1980-an ini. Sumber-sumber uang inilah yang kita kenal dengan pencucian uang, lalu uang ini di masukkan pada sektor legal dan uang itu pun
 Menjadi  tercuci bersih.
Sejalan dengan kemajuan IPTEK ternyata sektor perbankan merupakan sasaran empuk untuk kegiatan pencucian uang mengingat dari sektor inilah yang paling memungkinkan untuk hal ini. Sektor perbankan merupakan sebuah sektor yang memberikan layanan pada lalu lintas keuangan yang dapat dipakai untuk menyembunyikan asal usul uang haram ini. Dengan adanya globalisasi perbankan maka dana hasil kejahatan ini bergerak menembus batas yurisdiksi suatu Negara dengan menembus factor kerahasian bank yang dijunjung tinggi oleh perbankan.[2] Melalui mekanisme inilah dana dari kejahatan bergerak dari suatu Negara ke Negara lain yang belum punya system hukum yang kuat untuk menanggulangi tindak pidana pencucian uang ini atau karena suatu Negara yang menerapkan ketentuan rahasia bank yang sangat ketat seperti Negara Swiss.
2. Tujuan dari Kejahatan Pencucian uang ini.
Kita dapat mengetahui bahwa money loundring itu dimulai dari adanya uang haram atau uang kotor (dirty money). Bahwa tujuan pelaku melakukan pencucian uang adalah untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil dari predicate offence agar tidak terlacak untuk selanjutnya dapat digunakan.
Jadi bukan untuk tujuan menyembunyikan saja tapi mengubah performance atau asal usulnya hasil kejahatan untuk tujuan selanjutnya dan menghilangkan hubungan langsung dengan kejahatan asalnya. Dengan demikian jelas bahwa dalam berbagai kejahatan di bidang keuangan (interprise crimes) hampir pasti akan dilakukan pencucian uang untuk menyembunyikan hasil kejahatan itu agar terhindar dari tuntutan hukum.[3]
Saat ini banyak sekali cara pengoperasian untuk memperoleh dirty money, apalagi pada zaman saat ini dimana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan pesatnya. Perkembangan teknologi dan arus global yang makin kencang ini diiringi dengan kemajuan dalam dunia kejahatan. Kemudian tipologi kejahatan bermunculan dan mulai menyerang segala aspek kehidupan masyarakat salah satunya berimplikasi terhadap sector perbankan dengan menembus dimensi dan batas-batas perekonomian dunia. Dengan adanya berbagai macam bentuk kejahatan yang timbul karena globalisasi,
Maka hal itu menunjukan adanya suatu kalsifikasi kejahatan yang menjadi sumber dari uang  haram itu. Hal ini sesuai dengan pasal 2 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003), tindak pidana yang menjadi pemicu terjadinya pencucian uang meliputi korupsi, penyuapan, penyelundupan barang/tenaga kerja/imigran, perbankan, narkotika, psikoropika, perdagangan budak/wanita/anak/senjata gelap, penculikan, terorisme, pengelapan dan pencurian.


Pencucian uang ini kemudian dikenal sebagai organizated crime dan tentu saja hal ini menimbulkan kerugian, bahkan jumlah terakhir dari data bank dunia uang haram yang tercatat sebagai pencucian uang adalah US 1.500.000.000.000 /tahun. Dengan nominal yang sebesar itu tentu saja menimbulkan dampak yang sangat buruk bagi system perekonomian dunia.
3. Tahap-Tahap atau Mekanisme Pencucian Uang.
Secara umum terdapat beberapa tahap dalam melakukan usaha pencucian uang, yaitu sebagai berikut:
  a.Placement
Tahap ini merupakan tahap pertama, yaitu pemilik uang tersebut mendepositkan uang haram tersebut ke dalam system keuangan (financial system). Karena uang itu sudah masuk ke dalam system keuangan berarti uang itu telah jua masuk kedalam system keuangan Negara yang bersangkutan.  Oleh karena itu uang yang telah ditempatkan di suatu bank selanjutnya dapat lagi dipindahkan ke bank lain, baik di Negara tersebut maupun di Negara lain, maka uang tersebut bukan saja telah masuk ke dalam system keuangan Negara yang bersangkutan, tetapi juga telah
masuk ke dalam system keuangan global atau internasional. Jadi placement (penempatan) adalah upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana ke dalam system
keuangan. Bentuk kegiatan ini antara lain sebagai berikut:
1. Menempatkan dana pada bank. Kadang kegiatan ini diikuti dengan pengajuan kredit/pembiayaan.
2. Menyetorkan uang pada bank atau perusahaan jasa keuangan lain sebagai pembayaran kredit
untuk mengaburkan audit trail.
3. Menyelundupkan uang dari suatu Negara ke Negara lain.
4. Membiayai suatu usaha yang seola-olah sah atau terkait dengan usaha yang sah berupa
 kredit/pembiayaan sehingga mengubah kas menjadi kredit pembiayaan.
5. Membeli barang-barang berharga yang bernila tinggi untuk keperluan pribadi, membelikan hadiah yang nilainya mahal sebagai penghargaan atau hadiah kepada pihak lain yang pmbayarannya dilakukan melalui bank atau perusahaan jasa keuangan lain.
Dengan placement ini merupakan fase pertama dari proses pencucian uang haram ini adalah memindahkan uang haram dari sumber asal uang itu untuk menghindarkan jejaknya agar sumber uang itu tidak diketahui oleh penegak hokum. Metode yang terpenting dari placement ini adalah apa yang disebut smurfing. Dengan smurfing ini, keharusan untuk melaporkan transaksi uang tunai sesuai peraturan peundangan yang berlaku dapat dikelabui atau dihindari.
  b. Layering
Layering (pelapisan) adalah suatu proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil upaya placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber uang haram tersebut, misalnya bearer bonds, forex market, stocks. Disamping cara tersebut, langkah lain yang digunakan adalah dengan menciptakan sebanyak mungkin account dari perusahaan fiktif/semu dengan memanfaatkan aspek kerahasiaan bank dan keistimewaan hubungan antara nasabah bank dengan pengacara. Upaya ini dilakukan untuk menghilangkan jejak atau usaha audit sehingga seolah-olah merupakan transaksi finansial yang legal.
Dari kata rekening diatas maka saya memberikan sebuah contoh kasus yaitu berkaitan dengan PPATK: Kasus Bank Mega Money Laundering (Ditemukan adanya penyalahgunaan Jabatan di Bank Mega Cabang Bekasi-Jababeka).
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyimpulkan kasus pembobolan dana PT Elnusa Tbk dan Pemkab Batubara di PT Bank Mega Tbk, merupakan tindak pidana pencucian uang. Wakil Ketua PPATK Gunadi mengatakan aliran dana Elnusa mengarah ke perorangan dan diinvestasikan di deposito. Sedangkan dana Pemkab Batubara mengarah ke rekening perseorangan dan diinvestasikan deposito. “Kami juga menemukan adanya penyalahgunaan Jabatan di Bank Mega Cabang Bekasi-Jababeka,” kata Gunadi dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI, Rabu (25/5). Gunadi menjelaskan, berdasarkan penelusuran PPATK sejak April 2011, dalam kasus Elnusa terdapat 33 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) dan 69 laporan transaksi keuangan tunai (LTKT). Untuk Dana Pemkab Batubara, terdapat 18 LTKM dan 34 LTKT. Saat ini, PPATK telah mengirim laporan tersebut kepada penyidik Polda dan Kejaksaan Agung.
 Dalam kasus dana Pemkab Batubara, PPATK telah membekukan 10 rekening yang dicurigai menerima dana dari rekening Pemkab Batubara yang ada di Bank Mega Jababeka. “Kami menstop 10 rekening yang ditengarai dari rekening Pemerintah Kabupaten Batubara yang jumlahnya senilai Rp4,4 miliar,” tuturnya. Menurut Gunadi, uang Rp4,4 miliar itu bisa dapat menjadikan asset recovery Bank Mega. Selain itu, PPATK menemukan adanya kesamaan modus yang terjadi pada pembobolan di Bank Mega yakni adanya tindak pidana pencucian uang.  Atas kasus ini, PPATK memberikan lima rekomendasi kepada Bank Indonesia (BI) agar lebih mengamankan sistem perbankan nasional. Pertama, penyidik dan penuntut umum harus mencantumkan adanya pengenaan sanksi pidana pencucian uang sesuai dengan Pasal 7 Undang-undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU).
            Kedua, PPATK mengusulkan peningkatan kerjasama antar bank dan penyedia jasa keuangan lainnya dalam membantu proses penyelamatan dana hasil tindak pidana seperti penundaan transaksi dalam Pasal 26 Undang-undang PPTPPU. Ketiga, peningkatan peran aktif penyedia jasa keuangan, PPATK dan penegak hukum untuk melaksanakan kewenangan yang diberikan UU PPTPPU, seperti penundaan transaksi, penghentian sementara transaksi dan pemblokiran guna mencegah berpindahnya dana dari hasil tindak pidana.

Kelima, penyedia jasa keuangan khususnya bank wajib melakukan enhanced due diligencedalam hal terdapat transaksi penempatan Deposito on Call (DoC) dana milik Pemerintah Daerah/BUMN dalam jumlah yang signifikan atau besar pada kantor cabang bank atau cabang pembantu bank yang relatif kecil. Sekadar catatan, Pasal 7 UU PPTPPU menyatakan, selain terkena sanksi denda, korporasi bisa terancam izin usahanya. Sanksi berat ini berlaku jika perusahaan ikut terlibat atau menikmati hasil kejahatan. Sanksi paling ringan berupa denda maksimal Rp1 miliar, bila bank sebagai penyedia jasa keuangan sengaja tidak melaporkan keberadaan transaksi mencurigakan.  BI sendiri baru saja menjatuhkan sanksi kepada Bank Mega terkait kasus pembobolan dana Elnusa sebesar Rp111 miliar dan Pemkab Batubara Rp80 miliar. Namun, BI memutuskan tidak mencabut izin usaha bank milik taipan Chairul Tanjung tersebut. 
Keputusan RDG
Rapat Dewan Gubernur BI tanggal 23 Mei 2011 memutuskan; Pertama, mengenakan sanksi kepada Bank Mega dengan menghentikan penambahan nasabah DoC baru dan perpanjangan DoC lama, termasuk untuk produk sejenis seperti Negotiable Certificate of Deposit (NCD), selama satu tahun, menghentikan pembukaan jaringan kantor baru selama satu tahun. Sanksi tersebut berlaku sejak 24 Mei 2011. Kedua, BI akan melakukan fit and proper test terhadap manajemen dan pejabat eksekutif Bank Mega. Ketiga, BI menginstruksikan Bank Mega untuk mereview seluruh kebijakan dan prosedur, khususnya aktivitas pendanaan (funding) termasuk penetapan target, limit dan kewenangan untuk kantor cabang, kantor cabang pembantu, kantor kas dan individu, baik nominal maupun suku bunga, pengaturan wilayah kerja kantor serta mekanisme inisiasi nasabah baru.
            BI juga menginstruksikan agar Bank Mega untuk memperbaiki fungsi internal control dan risk management, termasuk kecukupan jumlah auditor di setiap kantor, proses check and balancebaik melalui tahapan kewenangan maupun sistem, fungsi pengawasan kantor pusat terhadap kantor-kantor di bawahnya dan prinsip know your employee. Kemudian, bank sentral meminta Bank Mega memberhentikan pegawai di bawah pejabat eksekutif yang terlibat dalam kasus dana nasabah atas nama PT Elnusa dan dana Pemkab Batubara, Sumatera Utara di KCP Bekasi Jababeka.
Bank Mega juga diinstruksikan segera membentuk escrow account senilai dana Elnusa dan Pemkab Batubara. Pencairan escrow account tersebut hanya dapat dilakukan dengan persetujuan BI dalam hal sudah tidak terdapat sengketa antara bank dengan nasabah, baik yang diselesaikan melalui keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau melalui kesepakatan para pihak. Kendati telah menjatuhkan sanksi kepada Bank Mega, BI meminta nasabah bank tersebut untuk tenang dan tidak panik. Bank sentral menilai, secara keseluruhan kondisi keuangan bank masih tetap apik. Menurut Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah, Bank Mega bukanlah bank yang buruk. Hanya saja, kelemahan terjadi di dalam konteks koordinasi kantor cabang dengan kantor pusat. “Bank Mega tetap baik, kondisi permodalan bank ini tetap kuat dengan likuiditas sangat likuid,” ujarnya di tempat yang sama.[4]
  c.Integration
Integration (penggabungan) adalah proses pengalihan uang yang diputihkan hasil kegiatan placement maupun layering ke dalam aktivitas-aktivitas atau performa bisnis yang resmi tanpa ada hubungan/links ke dalam bisnis haram sebelumnya. Pada tahap ini uang haram yang telah diputihkan dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi dalam bentuk yang sesuai dengan aturan hukum, dan telah berubah menjadi legal. Ada tulisan yang menyebutkan bahwa cara tersebut juga disebut spin dry yang merupakan gabungan antara repatriation dan integration.
4. Beberapa Modus Operandi Pencucian Uang.
Dengan memperhatikan tahap-tahap proses money laundry maka dapat dikatakan bahwa modus operandi kejahatan pencucian uang umumnya dilakukan melalui cara-cara antara lain :
a. Melalui Kerjasama Modal
Uang hasil kejahatan secara tunai dibawa keluar negeri. Uang tersebut masuk kembali dalam bentuk kerja sama modal (joint venture project). Keuntungan investasi ini akan di investasikan kembali dalam berbagai usaha lain. Keuntungan usaha lain ini dinikmati sebagai uang yang sudah bersih, karena tampaknya diolah secara legal, bahkan sudah dikenakan pajak.
b. Melalui Agunan Kredit
Uang tunai diselundupkan ke luar negeri, lalu disimpan di bank Negara tertentu yang prosedur perbankannya termasuk lunak. Dari bank tersebut ditransfer ke bank Swiss misalnya dalam bentuk deposito. Kemudian dilakukan peminjaman ke suatu bank di Eropa dengan jaminan deposito tersebut. Uang hasil kredit ditanamkan kembali ke Negara asal uang haram
tadi.
c. Melalui Perjalanan Luar Negeri
Uang tunai ditansfer ke luar negeri melalui bank asing yang ada dinegaranya. Lalu uang tersebut dicairkan kembali dan di bawa kembali ke Negara asalnya oleh orang tertentu, seolah-
olah uang tersebut berasal dari luar negeri.
d.Melalui Penyamaran Usaha Dalam Negeri
Dengan uang tersebut didirikan perusahaan samaran, tidak dipermasalahkan apakah uang tersebut berhasil atau tidak, namun kesannya usaha tersebut telah menghasilkan uang bersih.
e. Melalui Penyamaran Perjudian
Dengan uang tersebut didirikanlah usaha perjudian dimana pelaku akan dibuat menang , sehingga ada alasan asal usul uang tersebut. Andai di Indonesia masih ada SDSB, Nalo atau Lotre dan lain-lain yang sejenisnya, maka pemilik uang ditawarkan nomor perjudian yang menang, sehingga menjelaskan bahwa uang itu adalah hasil dari hasil itu.
f. Melalui Penyamaran Dokumen
Uang tersebut secara fisik tidak kemana-mana, namun keberadaanya didukung oleh berbagai dokumen palsu atau dokumen yang diada-adakan, seperti membuat double invoice dalam jual beli dan ekspor impor, agar terkesan uang itu sebagai hasil kegiatan luar negeri.
g. Melalui Pinjaman Luar Negeri
Uang tunai dibawa ke luar negeri dengan berbagai cara, lalu uang tersebut dimasukkan
ke dalam negeri dalam bentuk pinjaman luar negeri. Hal ini seakan-akan dapat bantuan pinjaman
 kredit dari luar negeri.
h. Melalui Rekayasa Pinjaman Luar Negeri                     
Uang tidak kemana-mana hanya di buat rekayasa bahwa ada dokumen yang seakan-akan ada bantuan pinjaman luar negeri. Jadi memang tidak ada pihak yang memberikan pinjaman yang ada hanya dokumen pinjaman, yang kemungkinan besar adalah dokumen palsu.



PENUTUP
D.    KESIMPULAN
1.      Istilah pencucian uang atau money loundring ini telah dikenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat, yaitu ketika seorang mafia membeli perusahaan yang sah dan resmi sebagai strateginya. Investasi terbesar adalah perusahaan pencucian pakaian atau disebut Laundromat yang saat itu terkenal di Amerika Serikat. Al Capone adalah seorang penjahat terkenal Amerika Serikat masa lalu, ia melakukan money laundry terhadap uang haram yang didapatnya dengan menggunakan jasa seorang akuntan cerdas bernama Meyer Lansky. Money laundry yang dilakukannya adalah melalui usaha binatu (laundry). Itulah asal muasal nama money loundring ( pencucian uang).
2.      Bahwa tujuan pelaku melakukan pencucian uang adalah untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil dari predicate offence agar tidak terlacak untuk selanjutnya dapat digunakan. Jadi bukan untuk tujuan menyembunyikan saja tapi mengubah performance atau asal usulnya hasil kejahatan untuk tujuan selanjutnya dan menghilangkan hubungan langsung dengan kejahatan asalnya. Dengan demikian jelas bahwa dalam berbagai kejahatan di bidang keuangan (interprise crimes) hampir pasti akan dilakukan pencucian uang untuk menyembunyikan hasil kejahatan itu agar terhindar dari tuntutan hukum.
3.      Secara umum terdapat beberapa tahap dalam melakukan usaha pencucian uang, yaitu
sebagai berikut:

  a. Placement ( penempatan)
  b. Layering (pelapisan)
  c. Integration (penggabungan)
4.      Dengan memperhatikan tahap-tahap proses money laundry maka dapat dikatakan bahwa modus operandi kejahatan pencucian uang umumnya dilakukan melalui cara-cara antara
lain :
a. Melalui Kerjasama Modal
b. Melalui Agunan Kredit
c. Melalui Perjalanan Luar Negeri
d.Melalui Penyamaran Usaha Dalam Negeri
e. Melalui Penyamaran Perjudian
f. Melalui Penyamaran Dokumen
g. Melalui Pinjaman Luar Negeri
h. Melalui Rekayasa Pinjaman Luar Negeri
E.     SARAN
Saran yang dapat saya berikan adalah :
1.        Kita jagan mencontoh cara melakukan pencucian uang  dari hal apapun,meskipun dari hal yang paling kecil jangan sampai kita terpengaruh. Agar tidak lagi ada tindak pencucian uang lagi di Negara ini.
2.        Pihak bank dan yang terkait masalah penyimpanan uang,kalau bisa lebih lebih waspada dan punya peraturan perundang-undangan baru.
3.        Seharusnya dalam melakukan penempatan,pelapisan dan penggabungan pihak bank harus lebih teliti dan memperhatikan asal usul uang itu. Dalam hal ini juga bisa dibuat kan undang-undang tentang penempatan uang.
4.        Sebaiknya kita dalam melakukan kerjasama hendaknya berhati-hati dan sesuai dengan aturan. Lebih mentaati peraturan yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang           Perbankan.
Sutedi, Adrian. 2007. Hukum Perbankan. Jakarta : Sinar Grafika.
www.Google.co.id/moneylaundry.
www. Wikipedia.org/pencucian uang.




[1] rizkie,Hukum Perbankan Pencucian Uang, URL : http://rizkieartikelsaja.com.html, diakses tanggal  4 Maret 2011


[2] Sutedi, Adrian. 2007. Hukum Perbankan. Jakarta : Sinar Grafika.h.2

[3] Kismadi,pencucianuang,URL : http://kismadi.com.html, diakses tanggal 2 desember 2012


[4] hukumonline,kasus bank mega money laundering, URL: http://hukumonline,kasusbankmega.com Diakses tanggal 26 Mei 2011