BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perkosaan
adalah kejahatan yang sangat serius.Ini adalahkejahatan yang menginjak-injak
martabat kemanusiaan.Akibat dariperkosaan tidak hanya terjadi pada korban
saja.Secara sosial, perkosaanmembuat masyarakat semakin cemas.Bahkan dapat
menghilangkan peransosial korbannya dalam masyarakat. Penderitaan korban tidak
hanyadialami saat terjadi kasus. Secara psikologis, korban menderita
sepanjanghidupnya.Ia bisa menjadi depresi, kecemasan yang berkepanjangan bahkan
dapat mendorongnya untuk melakukan tindakan bunuh diri.Bahkan bagi korban yang
dapat bertahan secara mental masih jugamendapat stigma negatif dari masyarakat.
Bagi yang kasusnya terekspos,mereka mengalami perkosaan kedua oleh media,
polisi dan penegak hukum (saat proses penyidikan hingga pengadilan).Ironisnya
perkosaan termasuk kejahatan yang sangat sering terjadi.Kasus perkosaan
menempati peringkat nomor 2 setelah pembunuhan (Darwin dalam Sulistyaningsih
dan Fatchurohman, 2002).
Padahal kita sudah memiliki Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur tentang sistem acara
pidana. KUHAP sangat memperhatikan hak-hak seorang yang tersangkut tindak
pidana, mulai dari proses penyelidikan , penyidikan, penuntutan, putusan
pengadilan oleh hakim, hingga pelaksanaan putusan. Dalam proses peradilan
pidana baik tersangka maupun korban kejahatan (victim of crime)
menghendaki keadilan. Bagi tersangka menghendaki perkaranya diperiksa secara
adil dengan mengindahkan hak-haknya serta aturan main yang telah ditentukan,
namun bagi korban juga menghendaki agar tersangka diadili dan kalau perlu
dihukum seberat-beratnya, bahkan berharap adanya ganti rugi untuk memulihkan
keadaan.
Selama ini kepentingan dan
hak-hak tersangka lebih diperhatikan dan diutamakan dari pada kepentingan dan
hak-hak korban. Bagaimana tidak, sejak awal proses pemerikasaan hak-hak
tersangka dilindungi, pelaku kejahatan berhak memperoleh bantuan hukum,
memperoleh perlakuan yang baik, dijauhkan dari penyiksaan, diberitahukan
tentang kejahatan yang disangkakan kepadanya, hak memperoleh pemidaan secara
manusiawi, bahkan hak untuk meminta ganti rugi manakala terjadi kekeliruan
dalam proses perkara pidana, singkatnya segala hak dan atribut yang melekat
pada tersagka dikemas dalam KUHAP.
Adapun hak korban dikemas
sangat minim, bahkan tidak diakomodir oleh KUHAP walaupun kita mengetahui bahwa
derita yang dialaminya sudah dirasakan ketika terjadinya kejahatan, saat
melapor hingga mengikuti proses persidangan. Trauma akibat akan menerima
perlakuan tidak menyenangkan dari lingkungannya. Hal ini berimplikasi pada
enggannya korban untuk melapor kejadian yang dideritanya, karena semula laporan
itu bertujuan untuk mengurangi beban masalah yang dideritanya, menjadi
permasalahan baru baik berupa cemooh dari masyarakat maupun dari aparatur
penegak hukum yang terkadang kurang responsip dan tidak bersahabat, belum lagi
karena adanya intimidasi dari tersangka terhadap korban.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
1. Apa yang memicu terjadinya kasus
pemerkosaan?
2. Bagaiamana perlindungan
korban tindak pidana perkosaan dalam Hukum Acara Pidana?
3. Apakah ada ganti rugi untuk
korban?
BAB
II
PEMBAHASAN
MASALAH
A.
Faktor pemicu kasus pemerkosaan
Pada kasus perkosaan, pelaku menganggap bahwa
tingkahlaku wanitalah yang menjadi faktor pemicu terjadinya kasus pemerkosaan
antara lain seperti cara berjalan, berbicara, gerakan tubuhdanpenampilannya
(gaya pakaian, make up, parfum) adalah untukmemikat kaum laki-laki. Atau secara
lebih kasar, meminta laki-lakiuntuk berhubungan seks dengan mereka.Bahkan yang
lebihekstrim, wanita dianggap memiliki fantasi ingin diperkosa. Dan
dalamkonteks di Indonesia kita sering dengar, saat kasus perkosaanterjadi,
masyarakat menyalahkan korban dengan pakaiannya yangminim, dan penampilanya
yang berlebihan atau perilaku wanita yanggampangan (mudah percaya/diajak
laki-laki).Sedang dalam kasus pencabulan, pelaku menganggap anak-anak atau
korban yang senang berdekatan dengannya, sering memeluknya, suka
bermanja-manja, sebenarnya menginginkanuntuk diper lakukan lebih. Misalnya saat
bermain bersama secara tidak sengaja mereka memperlihatkan tubuhnya, memeluk
pelaku, minta dipangku atau digendong, pelaku menganggap hal itusebagai
undangan untuk bertindak lebih jauh.
B.
Perlindungan
Korban Tindak Pidana Perkosaan dalam Hukum Acara Pidana
Hakikat
pembaharuan hukum pidana menurut Barda Nawawi yaitu mengandung makna suatu
upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan
nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat
Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan
penegakan hukum di Indonesia.
Pembaruan
hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan (policy), karena
merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy) serta dalam kebijakan
itu sendiri terkandung pula pertimbangan nilai.Oleh karena itu, pembaharuan
hukum pidana dapat dilihat dari dua sudut pendekatan yakni kebijakan dan nilai.
a) Pendekatan kebijakan ada tiga klasifikasi
yaitu:
• Sebagai bagian dari kebijakan sosial
yakni untuk mengatasi masalah-masalah sosial.
• Sebagai bagian dari kebijakan kriminal
yakni upaya perlindungan masyarakat.
• Sebagai bagian dari kebijakan hukum
yakni, memperbaiki substansi hukum.
b) Pendekatan nilai yakni, pembaharuan hukum
pidana hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penelitian kembali
(reorientasi dan reevaluasi), nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis, dan
sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normative dan
substantive hokum pidana yang dicita-citakan.
Pembaharuan
hukum pidana sebagai manifestasi untuk menanggulangi tindak kejahatan harus
berorientasi tidak hanya kuantitas perundang-undangannya (legal reform)
melainkan berorientasi pada kualitas atau nilai-nilai extra legal masuk ke
dalamnya (law reform), dengan kata lain, usaha mengurangi meningkatnya tindak
pidana baik secara kuantitas maupun secara kualitas yang selama ini fokus
perhatiannya hanya tertuju pada upaya-upaya bersifat teknis.Disamping itu, di
dalam penegakan hukum pidana adanya pandangan bahwa, korban hanya berperan
sebagai instrument pendukung dalam mengungkap kebenaran materiil yakni sebagai
saksi belaka.
Konsep
baru tentang tindak pidana harus dengan adanya kesadaran atau keinginan untuk
merancang bangun ruang hukum pidana ke dalam konsep monodualistik yakni
perhatiannya tidak hanya kepada pelaku, namun kepada masyarakat.
Pembaharuan
hukum pidana (penal reform) sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana (penal
policy) itu tidak hanya fokus pada tersangka melainkan kepada korban dan juga
masyarakat luas. Oleh karena itu, dengan adanya undang-undang nomor 13 tahun
2006 tentang perlindungan saksi dan korban, khususnya apa yang tercantum pada
pasal 5 angka 1 mengenai perlindungan hak-hak saksi dan korban terutama dalam
hal adanya perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya,
serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang,
atau telah diberikannya.mendapatkan informasi berupa perkembangan kasus yang
dialaminya dalam proses persidangan hingga putusan hakim dari pengadilan,
mengetahui terpidana dibebaskan, dan memperoleh kompensasi, restitusi, dan
jaminan atau santunan untuk kesejahteraan sosial.
Hal
di atas didasari paradigma dasar bahwa korban tindak pidana perkosaan adalah
pihak yang paling dirugikan, oleh karena Negara menjamin adanya perlindungan
atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda
yang di bawah kekuasaannya, serta hak rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat, sebagaimana diamanatkan UUD 1945
BAB XA Mengenai Hak Asasi Manusia, terutama pasal 28 G ayat (1). Oleh karena
itu negara berkewajiban memberikan kompensasi dan restitusi, serta jaminan atau
santunan untuk kesejahteraan sosial kepada korban tindak pidana perkosaan.
C. Pengaturan
Ganti Rugi untuk Korban
Masyarakat
pendamba keadilan pada 18 Juli tahun 2006 menyambut dengan bergembira dengan
diundangkannya Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, selanjutnya ditulis UU PSK. Lahirnya UU PSK diharapkan akan menjadi
payung hukum bagi perlindungan saksi dan korban yang selama ini dirasakan
kurang dilindungi dalam hukum acara di Indonesia.
Bahwa
konteks kehadiran UU PSK adalah dalam kerangka untuk melengkapi pranata
prosedural dalam proses peradilan pidana, Mengingat, dalam pemeriksaan terhadap
perkara pidana untuk mengungkap kebenaran dan memberi keadilan berkait erat
dengan kekuatan alat bukti. Sehubungan dengan kuat lemahnya suatu pembuktian
dalam pemeriksaan perkara pidana, maka saksi maupun korban memiliki kedudukan
yang sangat signifikan dalam upaya pengungkapan kebenaran materiil.Pada posisi
itulah, saksi atau korban melekat potensi ancaman.
Bahwa
hukum acara pidana yang saat ini berlaku tidak memberikan perlindungan yang
memadai bagi saksi atau korban yang terkait dengan suatu perkara pidana, Dalam
penjelasan umum UUPSK dikatakan bahwa KUHAP Pasal 50 sampai dengan Pasal 68
hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka dan terdakwa terhadap
kemungkinan adanya pelanggaran terhadap hak-hak mereka. Maka, berdasarkan asas
kesamaan didepan hukum (equality before law) dalam penjelasan umum itu saksi
dan korban dalam proses peradilan pidana harus diberikan jaminan perlindungan
hukum. Dalam UUPSK terdapat tiga hal pokok yang patut diberikan perhatian
khusus, yakni: Pertama, pendalaman mengenai cakupan atas hak-hak serta
bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan kepada saksi dan korban. Termasuk
didalamnya adalah prinsip-prinsip pelaksanaan pemberian perlindungan saksi dan
korban maupun mekanisme kompensasi dan restitusi bagi korban.Kedua, mengenai
aspek-aspek kelembagaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Hal
ini menyangkut kewenangan dan cakupan tugas dari LPSK serta bagaimana hubungan
fungsional LPSK dengan lembaga penegak hukum lainnya.Ketiga, ketentuan mengenai
pemberian perlindungan dan bantuan.Hal ini menyangkut aspek mekannisme
prosedural bekerjanya LPSK. Pemberian bantuan dalam UU PSK merupakan bagian
dari salah satu bentuk perlindungan yang akan diberikan oleh LPSK. Untuk
itulah, oleh UU PSK konsep pemberian bantuan dibatasi sedemikian rupa.Misalnya
dalam pasal 6, yang dimaksud bantuan oleh UU PSK hanya mencakup bantuan medis
dan bantuan rehabilitasi psiko – sosial.Bantuan tersebut juga hanya
diperuntukkan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Dua
ketentuan bantuan tersebut, tentunya telah membatasi konsep umum
pemberian bantuan bagi korban yang prinsipnya tidak diskriminatif. Sementara
itu dalam Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan
Penyalahgunaan Kekuasaan, khusus mengenai bantuan, disebutkan bahwa para korban
harus menerima bantuan material, medis, psikologis dan sosial yang didapatkan
melalui sarana pemerintah maupun saranasarana lainnya. Korban tanpa
diskriminasi harus mendapatkan kemudahan dan akses informasi yang cukup
terhadap pelayanan kesehatan dan sosial dan 8 bantuan lainnya.Selain itu
pemerintah harus memberikan pelatihan bagi aparat penegak hukumnya (polisi,
jaksa, hakim) untuk menjadikan mereka peka terhadap kebutuhan para korban
sekaligus untuk memastikan pemberian bantuan yang benar dan segera.
Keterbatasan
konsep mengenai korban yang berhak mendapatkan layanan pemberian bantuan dan
tidak memadainya konsep pemberian bantuan dalam UU PSK dikhawatirkan akan
menyulut kerancuan implementasi pemberian bantuan oleh LPSK dimasa mendatang.
Dari sini, telah diidentifikasi keterbatasan UU PSK dalam menjabarkan
prinsip-prinsip deklarasi tersebut.Namun dari titik itulah tantangan LPSK
kedepan untuk memberikan perlindungan dan pelayanan bagi saksi dan atau korban
dapat mulai dipetakan sedari dini.Bagaimana menjawab tantangan keterbatasan
dalam undang-undang itu dengan kerja-kerja. Hak-hak dasar korban yang harus
dipenuhi adalah right to know (hak untuk mengetahui), hak ini dapat dikaitkan
dengan hak untuk mendaptkan informasi perkembangan kasus, proses hukumnya
danterdakwa. Right to justice (hak untuk mendapatkan keadilan), proses hukum
yang berjalan harusbertujuan untuk mengungkapkan kebenaran dan keadilan. Right
to reparation (hak untuk mendapatkanpemulihan), hak ini harus dimiliki korban
untuk memulihkan kondisi fisik dan psikis.
Dalam
UU PSK, terdapat dua pasal yang secara khusus memerintahkan pemerintah untuk
menyusun peraturan pemerintah mengenai ketentuan pemberian kompensasi dan
restitusi dan ketentuan mengenai kelayakan pemberian bantuan menyangkut
penentuan jangka waktu, dan besaran biaya. Kajian ini dimaksudkan untuk melihat
kenyataan adanya kelemahan-kelemahan yang ada pada UU PSK, dihadapkan dengan
adanya kebutuhan perangkat peraturan perundang-undangan untuk mengorganisasikan
kerja-kerja konkrit LPSK kedepan.
Pembahasan
difokuskan mengenai pemberian bantuan serta tata cara pemberian bantuan sebagaimana
yang diatur dalam UU PSK. Kajian ini akan mengurai mengenai
permasalahan-permasalahan yang terdapat pada UU PSK berkaitan dengan pemberian
bantuan. Lingkup kajian akan mencakup dimensidimensi konsep pemberian bantuan,
bagaiamana implikasi dari konsep terhadap tata cara pemberian bantuan yang
terdapat dalam UU PSK. Dari pembahasan dua hal tersebut akan dipetakan mengenai
langkah-langkah penting yang diharapkan akan dilakukan LPSK dalam rangka
menjalankan fungsi dan tugasnya. Pada bagian awal, kajian ini melakukan
observasi singkat bagaimana UU PSK mengatur pemberian bantuan.Dalam bagian ini
diuraikan kelemahan-kelemahan elemneter yang berkaitan dengan konsep pemberian
bantuan dalam UU PSK.Aspek lainnya adalah bagaimana UU PSK menempatkan LPSK
sebagai lembaga yang menjalankan mandat undang-undang untuk memberikan
perlindungan saksi dan korban.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Faktor pemicu terjadinya kasus pemerkosaan
antara lain seperti cara berjalan, berbicara, gerakan tubuh dan penampilannya
(gaya pakaian, make up, parfum) adalah untukmemikat kaum laki-laki.
korban tindak pidana perkosaan
adalah pihak yang paling dirugikan, oleh karena Negara menjamin adanya
perlindungan atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan
harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta hak rasa aman dan perlindungan
dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat, sebagaimana
diamanatkan UUD 1945 BAB XA Mengenai Hak Asasi Manusia, terutama pasal 28 G
ayat (1).
Prospek
perlindungan korban tindak pidana pemerkosaan dalam proses peradilan pidana
(KUHAP) di Indonesia yang akan datang seharusnya memasukkan ketentuan pidana
ganti kerugian baik kompensasi, restitusi, maupun santunan untuk kesejahteraan
sosial ke dalam ketentuan pidana tambahan agar hakim dapat memutuskannya
bersamaan dengan pidana pokok, maupun secara mandiri jika terpidana hanya
diancam dengan pidana denda secara tunggal.
B. SARAN
Saran dari saya, kalau bisa
laki-laki jangan terlalu merendahkan wanita,jangan mudah tergiur oleh
kecantikan. Dan untuk wanita kalau berpenampilan yang menutup aurat biar tidak
terjadi perkosaan terus menerus.Saling menjaga kesucian dan harga diri.
DAFTAR
PUSTAKA
- Barda Nawawi Arief, Beberapa
Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2005.
- Yesmil Anwar dan Adang, Sistem
Peradilan Pidana, Konsep, Komponen, & Pelaksaannya dalam Penegakan
Hukum di Indonesia, Jakarta: Widya Pandjadjaran, 2009.
- Satjipto Raharjo, Penegakan
Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.
- Sudikno Mertokusumo, Penemuan
Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2006.
- Undang-Undang No. 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan saksi dan Korban.
- www.pemerkosaandalamKUHAP.com