Rabu, 12 November 2014

Makalah Hukum Acara Pidana

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perkosaan adalah kejahatan yang sangat serius.Ini adalahkejahatan yang menginjak-injak martabat kemanusiaan.Akibat dariperkosaan tidak hanya terjadi pada korban saja.Secara sosial, perkosaanmembuat masyarakat semakin cemas.Bahkan dapat menghilangkan peransosial korbannya dalam masyarakat. Penderitaan korban tidak hanyadialami saat terjadi kasus. Secara psikologis, korban menderita sepanjanghidupnya.Ia bisa menjadi depresi, kecemasan yang berkepanjangan bahkan dapat mendorongnya untuk melakukan tindakan bunuh diri.Bahkan bagi korban yang dapat bertahan secara mental masih jugamendapat stigma negatif dari masyarakat. Bagi yang kasusnya terekspos,mereka mengalami perkosaan kedua oleh media, polisi dan penegak hukum (saat proses penyidikan hingga pengadilan).Ironisnya perkosaan termasuk kejahatan yang sangat sering terjadi.Kasus perkosaan menempati peringkat nomor 2 setelah pembunuhan (Darwin dalam Sulistyaningsih dan Fatchurohman, 2002).
Padahal kita sudah memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur tentang sistem acara pidana. KUHAP sangat memperhatikan hak-hak seorang yang tersangkut tindak pidana, mulai dari proses penyelidikan , penyidikan, penuntutan, putusan pengadilan oleh hakim, hingga pelaksanaan putusan. Dalam proses peradilan pidana baik tersangka maupun korban kejahatan (victim of crime) menghendaki keadilan. Bagi tersangka menghendaki perkaranya diperiksa secara adil dengan mengindahkan hak-haknya serta aturan main yang telah ditentukan, namun bagi korban juga menghendaki agar tersangka diadili dan kalau perlu dihukum seberat-beratnya, bahkan berharap adanya ganti rugi untuk memulihkan keadaan.
Selama ini kepentingan dan hak-hak tersangka lebih diperhatikan dan diutamakan dari pada kepentingan dan hak-hak korban. Bagaimana tidak, sejak awal proses pemerikasaan hak-hak tersangka dilindungi, pelaku kejahatan berhak memperoleh bantuan hukum, memperoleh perlakuan yang baik, dijauhkan dari penyiksaan, diberitahukan tentang kejahatan yang disangkakan kepadanya, hak memperoleh pemidaan secara manusiawi, bahkan hak untuk meminta ganti rugi manakala terjadi kekeliruan dalam proses perkara pidana, singkatnya segala hak dan atribut yang melekat pada tersagka dikemas dalam KUHAP.
Adapun hak korban dikemas sangat minim, bahkan tidak diakomodir oleh KUHAP walaupun kita mengetahui bahwa derita yang dialaminya sudah dirasakan ketika terjadinya kejahatan, saat melapor hingga mengikuti proses persidangan. Trauma akibat akan menerima perlakuan tidak menyenangkan dari lingkungannya. Hal ini berimplikasi pada enggannya korban untuk melapor kejadian yang dideritanya, karena semula laporan itu bertujuan untuk mengurangi beban masalah yang dideritanya, menjadi permasalahan baru baik berupa cemooh dari masyarakat maupun dari aparatur penegak hukum yang terkadang kurang responsip dan tidak bersahabat, belum lagi karena adanya intimidasi dari tersangka terhadap korban.




1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang memicu terjadinya kasus pemerkosaan?
2. Bagaiamana perlindungan korban tindak pidana perkosaan dalam Hukum Acara        Pidana?
3. Apakah ada ganti rugi untuk korban?













BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
A.    Faktor pemicu kasus pemerkosaan
Pada kasus perkosaan, pelaku menganggap bahwa tingkahlaku wanitalah yang menjadi faktor pemicu terjadinya kasus pemerkosaan antara lain seperti cara berjalan, berbicara, gerakan tubuhdanpenampilannya (gaya pakaian, make up, parfum) adalah untukmemikat kaum laki-laki. Atau secara lebih kasar, meminta laki-lakiuntuk berhubungan seks dengan mereka.Bahkan yang lebihekstrim, wanita dianggap memiliki fantasi ingin diperkosa. Dan dalamkonteks di Indonesia kita sering dengar, saat kasus perkosaanterjadi, masyarakat menyalahkan korban dengan pakaiannya yangminim, dan penampilanya yang berlebihan atau perilaku wanita yanggampangan (mudah percaya/diajak laki-laki).Sedang dalam kasus pencabulan, pelaku menganggap anak-anak atau korban yang senang berdekatan dengannya, sering memeluknya, suka bermanja-manja, sebenarnya menginginkanuntuk diper lakukan lebih. Misalnya saat bermain bersama secara tidak sengaja mereka memperlihatkan tubuhnya, memeluk pelaku, minta dipangku atau digendong, pelaku menganggap hal itusebagai undangan untuk bertindak lebih jauh.
B.     Perlindungan Korban Tindak Pidana Perkosaan dalam Hukum Acara Pidana
Hakikat pembaharuan hukum pidana menurut Barda Nawawi yaitu mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.
Pembaruan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan (policy), karena merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy) serta dalam kebijakan itu sendiri terkandung pula pertimbangan nilai.Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana dapat dilihat dari dua sudut pendekatan yakni kebijakan dan nilai.
a)  Pendekatan kebijakan ada tiga klasifikasi yaitu:
•         Sebagai bagian dari kebijakan sosial yakni untuk mengatasi masalah-masalah sosial.
•         Sebagai bagian dari kebijakan kriminal yakni upaya perlindungan masyarakat.
•         Sebagai bagian dari kebijakan hukum yakni, memperbaiki substansi hukum.
b)  Pendekatan nilai yakni, pembaharuan hukum pidana hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penelitian kembali (reorientasi dan reevaluasi), nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normative dan substantive hokum pidana yang dicita-citakan.
Pembaharuan hukum pidana sebagai manifestasi untuk menanggulangi tindak kejahatan harus berorientasi tidak hanya kuantitas perundang-undangannya (legal reform) melainkan berorientasi pada kualitas atau nilai-nilai extra legal masuk ke dalamnya (law reform), dengan kata lain, usaha mengurangi meningkatnya tindak pidana baik secara kuantitas maupun secara kualitas yang selama ini fokus perhatiannya hanya tertuju pada upaya-upaya bersifat teknis.Disamping itu, di dalam penegakan hukum pidana adanya pandangan bahwa, korban hanya berperan sebagai instrument pendukung dalam mengungkap kebenaran materiil yakni sebagai saksi belaka.
Konsep baru tentang tindak pidana harus dengan adanya kesadaran atau keinginan untuk merancang bangun ruang hukum pidana ke dalam konsep monodualistik yakni perhatiannya tidak hanya kepada pelaku, namun kepada masyarakat.
Pembaharuan hukum pidana (penal reform) sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy) itu tidak hanya fokus pada tersangka melainkan kepada korban dan juga masyarakat luas. Oleh karena itu, dengan adanya undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, khususnya apa yang tercantum pada pasal 5 angka 1 mengenai perlindungan hak-hak saksi dan korban terutama dalam hal adanya perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.mendapatkan informasi berupa perkembangan kasus yang dialaminya dalam proses persidangan hingga putusan hakim dari pengadilan, mengetahui terpidana dibebaskan, dan memperoleh kompensasi, restitusi, dan jaminan atau santunan untuk kesejahteraan sosial.
Hal di atas didasari paradigma dasar bahwa korban tindak pidana perkosaan adalah pihak yang paling dirugikan, oleh karena Negara menjamin adanya perlindungan atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta hak rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat, sebagaimana diamanatkan UUD 1945 BAB XA Mengenai Hak Asasi Manusia, terutama pasal 28 G ayat (1). Oleh karena itu negara berkewajiban memberikan kompensasi dan restitusi, serta jaminan atau santunan untuk kesejahteraan sosial kepada korban tindak pidana perkosaan.
C.     Pengaturan Ganti Rugi untuk Korban
Masyarakat pendamba keadilan pada 18 Juli tahun 2006 menyambut dengan bergembira dengan diundangkannya Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, selanjutnya ditulis UU PSK. Lahirnya UU PSK diharapkan akan menjadi payung hukum bagi perlindungan saksi dan korban yang selama ini dirasakan kurang dilindungi dalam hukum acara di Indonesia.
Bahwa konteks kehadiran UU PSK adalah dalam kerangka untuk melengkapi pranata prosedural dalam proses peradilan pidana, Mengingat, dalam pemeriksaan terhadap perkara pidana untuk mengungkap kebenaran dan memberi keadilan berkait erat dengan kekuatan alat bukti. Sehubungan dengan kuat lemahnya suatu pembuktian dalam pemeriksaan perkara pidana, maka saksi maupun korban memiliki kedudukan yang sangat signifikan dalam upaya pengungkapan kebenaran materiil.Pada posisi itulah, saksi atau korban melekat potensi ancaman.
Bahwa hukum acara pidana yang saat ini berlaku tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi saksi atau korban yang terkait dengan suatu perkara pidana, Dalam penjelasan umum UUPSK dikatakan bahwa KUHAP Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka dan terdakwa terhadap kemungkinan adanya pelanggaran terhadap hak-hak mereka. Maka, berdasarkan asas kesamaan didepan hukum (equality before law) dalam penjelasan umum itu saksi dan korban dalam proses peradilan pidana harus diberikan jaminan perlindungan hukum. Dalam UUPSK terdapat tiga hal pokok yang patut diberikan perhatian khusus, yakni: Pertama, pendalaman mengenai cakupan atas hak-hak serta bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan kepada saksi dan korban. Termasuk didalamnya adalah prinsip-prinsip pelaksanaan pemberian perlindungan saksi dan korban maupun mekanisme kompensasi dan restitusi bagi korban.Kedua, mengenai aspek-aspek kelembagaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Hal ini menyangkut kewenangan dan cakupan tugas dari LPSK serta bagaimana hubungan fungsional LPSK dengan lembaga penegak hukum lainnya.Ketiga, ketentuan mengenai pemberian perlindungan dan bantuan.Hal ini menyangkut aspek mekannisme prosedural bekerjanya LPSK. Pemberian bantuan dalam UU PSK merupakan bagian dari salah satu bentuk perlindungan yang akan diberikan oleh LPSK. Untuk itulah, oleh UU PSK konsep pemberian bantuan dibatasi sedemikian rupa.Misalnya dalam pasal 6, yang dimaksud bantuan oleh UU PSK hanya mencakup bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko – sosial.Bantuan tersebut juga hanya diperuntukkan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Dua ketentuan bantuan tersebut, tentunya telah membatasi konsep umum pemberian bantuan bagi korban yang prinsipnya tidak diskriminatif. Sementara itu dalam Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan, khusus mengenai bantuan, disebutkan bahwa para korban harus menerima bantuan material, medis, psikologis dan sosial yang didapatkan melalui sarana pemerintah maupun saranasarana lainnya. Korban tanpa diskriminasi harus mendapatkan kemudahan dan akses informasi yang cukup terhadap pelayanan kesehatan dan sosial dan 8 bantuan lainnya.Selain itu pemerintah harus memberikan pelatihan bagi aparat penegak hukumnya (polisi, jaksa, hakim) untuk menjadikan mereka peka terhadap kebutuhan para korban sekaligus untuk memastikan pemberian bantuan yang benar dan segera.
Keterbatasan konsep mengenai korban yang berhak mendapatkan layanan pemberian bantuan dan tidak memadainya konsep pemberian bantuan dalam UU PSK dikhawatirkan akan menyulut kerancuan implementasi pemberian bantuan oleh LPSK dimasa mendatang. Dari sini, telah diidentifikasi keterbatasan UU PSK dalam menjabarkan prinsip-prinsip deklarasi tersebut.Namun dari titik itulah tantangan LPSK kedepan untuk memberikan perlindungan dan pelayanan bagi saksi dan atau korban dapat mulai dipetakan sedari dini.Bagaimana menjawab tantangan keterbatasan dalam undang-undang itu dengan kerja-kerja. Hak-hak dasar korban yang harus dipenuhi adalah right to know (hak untuk mengetahui), hak ini dapat dikaitkan dengan hak untuk mendaptkan informasi perkembangan kasus, proses hukumnya danterdakwa. Right to justice (hak untuk mendapatkan keadilan), proses hukum yang berjalan harusbertujuan untuk mengungkapkan kebenaran dan keadilan. Right to reparation (hak untuk mendapatkanpemulihan), hak ini harus dimiliki korban untuk memulihkan kondisi fisik dan psikis.
Dalam UU PSK, terdapat dua pasal yang secara khusus memerintahkan pemerintah untuk menyusun peraturan pemerintah mengenai ketentuan pemberian kompensasi dan restitusi dan ketentuan mengenai kelayakan pemberian bantuan menyangkut penentuan jangka waktu, dan besaran biaya. Kajian ini dimaksudkan untuk melihat kenyataan adanya kelemahan-kelemahan yang ada pada UU PSK, dihadapkan dengan adanya kebutuhan perangkat peraturan perundang-undangan untuk mengorganisasikan kerja-kerja konkrit LPSK kedepan.
Pembahasan difokuskan mengenai pemberian bantuan serta tata cara pemberian bantuan sebagaimana yang diatur dalam UU PSK. Kajian ini akan mengurai mengenai permasalahan-permasalahan yang terdapat pada UU PSK berkaitan dengan pemberian bantuan. Lingkup kajian akan mencakup dimensidimensi konsep pemberian bantuan, bagaiamana implikasi dari konsep terhadap tata cara pemberian bantuan yang terdapat dalam UU PSK. Dari pembahasan dua hal tersebut akan dipetakan mengenai langkah-langkah penting yang diharapkan akan dilakukan LPSK dalam rangka menjalankan fungsi dan tugasnya. Pada bagian awal, kajian ini melakukan observasi singkat bagaimana UU PSK mengatur pemberian bantuan.Dalam bagian ini diuraikan kelemahan-kelemahan elemneter yang berkaitan dengan konsep pemberian bantuan dalam UU PSK.Aspek lainnya adalah bagaimana UU PSK menempatkan LPSK sebagai lembaga yang menjalankan mandat undang-undang untuk memberikan perlindungan saksi dan korban.



















BAB III
PENUTUP

A.        KESIMPULAN
Faktor pemicu terjadinya kasus pemerkosaan antara lain seperti cara berjalan, berbicara, gerakan tubuh dan penampilannya (gaya pakaian, make up, parfum) adalah untukmemikat kaum laki-laki.
korban tindak pidana perkosaan adalah pihak yang paling dirugikan, oleh karena Negara menjamin adanya perlindungan atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta hak rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat, sebagaimana diamanatkan UUD 1945 BAB XA Mengenai Hak Asasi Manusia, terutama pasal 28 G ayat (1).
Prospek perlindungan korban tindak pidana pemerkosaan dalam proses peradilan pidana (KUHAP) di Indonesia yang akan datang seharusnya memasukkan ketentuan pidana ganti kerugian baik kompensasi, restitusi, maupun santunan untuk kesejahteraan sosial ke dalam ketentuan pidana tambahan agar hakim dapat memutuskannya bersamaan dengan pidana pokok, maupun secara mandiri jika terpidana hanya diancam dengan pidana denda secara tunggal.
B.     SARAN
            Saran dari saya, kalau bisa laki-laki jangan terlalu merendahkan wanita,jangan mudah tergiur oleh kecantikan. Dan untuk wanita kalau berpenampilan yang menutup aurat biar tidak terjadi perkosaan terus menerus.Saling menjaga kesucian dan harga diri.

                                                           DAFTAR PUSTAKA          
  • Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti,  2005.
  • Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen, & Pelaksaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta: Widya Pandjadjaran, 2009.
  • Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.
  • Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2006.
  • Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan Korban.
  • www.pemerkosaandalamKUHAP.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar